dinsdag 8 april 2025

Sidi

 SIDI GEREJA PROTESTAN MALUKU

Cornelis Adolf Alyona1

 

Merambah Asal Kata

Tidak sedikit warga gereja ingin mengetahui asal-usul kata “sidi” dikarenakan mereka tidak menemukannya dalam Alkitab. Mereka pun belum menemukan kata lokal yang memberikan petunjuk ke arah itu atau sepadan dengan kata sidi. Justru itu ada yang berspekulasi dengan membonceng ide “kata berkait” atau kata yang “mirip bunyi”, seperti tsedekTsedek adalah kata Ibrani yang berarti kebenaran atau keadilan. Berdasarkan kemiripan bunyi dan makna kata tsedek itu, lantas ditarik kesimpulan yang agak prematur bahwa “sidi” berasal dari kata “tsedek” karena memiliki bunyi yang mirip ketika diucapkan; “sidi” - “tsedek”. Kata “sidi” dimulai dengan “s”, dan “tsedek” dimulai dengan “ts”. Logika “permaian kata” ini kemudian dikenakan pada orang yang telah lulus pendidikan katekisasi selama waktu tertentu. Orang yang sudah belajar Alkitab dan lulus ujian tentang pengetahuan Alkitab serta memiliki iman Kristen, dikategorikan sebagai orang benar, orang adil, orang yang dewasa, dan sejenisnya.

Pendekatan ini menimbulkan kesan seperti “dipaksakan”, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan iman. Oleh karena itu, penelusuran terhadap arti dan makna kata “sidi” didekati secara literer dari bahasa asing yang daripadanya pelaksanaan sidi itu berasal. Di Belanda, kata “sidi” diterjemahkan dengan “bevestiging”. Kata “bevestiging” ini sepadan dengan “konfirmasi”. Dengan demikian, maka masalah makna kata “sidi” ditelusuri secara literer dari "hilir ke hulu”: bevestiging - konfirmasi – sidi. Hampiran ini cukup menarik karena logika bahasa tersebut memuat latar belakang historis. Pendekatan ini lebih rasional dan dapat dipertanggungjawabkan, karena gereja-gereja Indonesia yang berlatar belakang gereja di Belanda menggunakan kata “bevesiting” atau “konfirmasi” untuk gereja-gereja yang berlatar belakang gereja di Jerman.

Istilah “sidi” atau “peneguhan sidi” berkaitan erat dengan sejumlah orang yang “dilantik” atau “diteguhkan” menjadi anggota gereja. Menurut kebanyakan warga gereja, sejak peneguhan sidi dalam ibadah jemaat, orang yang bersangkutan bertanggung jawab terhadap imannya sendiri. Justru itu mereka dibolehkan mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus, turut dalam pengambilan keputusan, terutama pada pemilihan pelayan gereja. Selama berabad-abad lamanya, “Peneguhan Sidi” ini telah dilakukan di lingkungan gereja-gereja Protestan di Indonesia yang berlatar belakang gereja di Belanda.

Istilah “konfirmasi” memiliki latar belakang sejarah “sakramen peneguhan” atau “sakramen penguatan” yang berlangsung di Gereja Katolik Roma (GKR). Dapat dikatakan bahwa sidi atau peneguhan sidi di lingkungan gereja Protestan merupakan hasil dari Reformasi Teologi atau Reformasi Ajaran pada Abad Pertengahan. Dengan kalimat lain, setelah Reformasi, “sakramen konfirmasi” tidak lagi diakui sebagai sakramen di lingkungan GKR. Karena itu, maka perlu dipaparkan secara sepintas “sakramen konfirmasi” sebelum menukik pada “sidi” dan “peneguhan sidi” yang menjadi fokus tulisan atau percakapan pada saat ini.

 

Konfirmasi di Gereja Katolik Roma

Konfirmasi merupakan salah satu sakramen di Gereja Katolik Roma (GKR). Sakramen itu didasarkan pada praktik penumpangan tangan. Petrus dan Yohanes menumpangkan tangan ke atas orang-orang yang bertobat di Samaria (Kis. 8:14-17), Rasul Paulus menumpangkan tangan ke atas murid-murid di Efesus (Kis. 19: 1-7).

Sakramen konfirmasi dijumpai juga pada upacara baptisan yang terdiri atas serentetan tindakan liturgis pada zaman gereja kuno. Tindakan liturgis penyelaman sebanyak tiga kali melambangkan pembersihan dari dosa, pengurapan dengan minyak yang dioles di dahi plus penumpangan tangan, dan seruan agar Roh Kudus menghinggapi orang yang baru dibaptis, serta penandaan dengan tanda salib.

Upacara baptisan itu mula-mula dilayankan oleh uskup, kemudian diserahkan kepada imam karena dari waktu ke waktu terjadi penambahan anggota gereja, di samping baptisan anak semakin biasa dilakukan oleh gereja. Dalam keadaan darurat, baptisan dalam arti sempit [penyelaman, pembasuhan] dilayankan oleh imam, tetapi pengurapan dengan Roh Kudus tetap menjadi hak istimewa uskup. Itu sebabnya pengurapan atau konfirmasi dijadikan upacara tersendiri sampai abad ke-12; dilayankan pada kesempatan jika ada uskup. 

Perkembangan tersebut menyebabkan teologi memandang baptisan dan konfirmasi sebagai dua sakramen yang berbeda; Baptisan memberikan pengampunan dosa, konfirmasi memberikan karunia Roh Kudus. Di kemudian hari, konfirmasi dijadikan upacara gerejawi tersendiri. Usia orang yang dikonfirmasikan antara 7 sampai 12 tahun. Dengan demikian maka anak-anak harus disiapkan secara baik dan benar, karena unsur pengajaran iman menjadi keharusan. Karena itu, pada akhir Abad Pertengahan dikeluarkan ketentuan agar anak yang layak dikonfirmasikan wajib menghafal Doa Bapa Kami, Ave (Salam) Maria, dan Pengakuan Iman Rasuli. Dari gambaran sekilas tentang konfirmasi GKR, kita menuju pemahaman dan praktik sidi di lingkungan Gereja Protestan.

 

Sidi dan Peneguhan Sidi di Gereja Protestan

Luther, reformator Abad Pertengahan yang melakukan Reformasi Teologi atau Reformasi Ajaran (Dogma), menolak konfirmasi sebagai sakramen. Menurutnya, baptisan menandai pengampunan dosa sekaligus pemberian Roh Kudus; anak-anak sebelum mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus, wajib dididik dalam iman. Selanjutnya dilakukan acara khusus yang tidak bersifat sakramen, tetapi khidmat.

Penetapan konfirmasi [sidi] dan peneguhan sidi Protestan dimaksud tidak dapat dipisahkan dari Martin Bucer, karen beliau yang memberikan bentuk konkrit terhadap konfirmasi Protestan sebagaimana dicitakan oleh Luther. Konsep Martin Bucer, Reformator Strasburg (1491-1551) tentang konfirmasi Protestan secara garis besar sebagai berikut.

Setelah pelajaran agama (katekisasi), anak-anak atau peserta katekisasi dibawa masuk dalam ibadah gereja untuk diperkenalkan dengan cara menguji pengetahuan mereka tentang iman melalui sejumlah pertanyaan. Setelah lulus, kepada mereka ditumpangkan tangan disertai doa dan permohonan kepada Roh Kudus, kemudian diteguhkan sebagai anggota jemaat. Pada perayaan Perjamun Kudus yang pertama mereka ikuti, orang tua serta “Mama Sarani” dan “Papa Sarani” (Orang tua saksi ketika mereka dibaptiskan) dilibatkan sebagai bentuk tanggung jawab dalam pendidikan Kristen.

Ada semacam keyakinan di kalangan reformator bahwa upacara tersebut mengikuti contoh pada zaman gereja kuno (yang dipatok dari tahun 30-590 Masehi). Pada saat orang sudah lazim membaptis anak, timbul kebiasaan bahwa katekisasi diberikan pada saat anak-anak telah siap untuk itu, dan diakhiri dengan pemeriksaan oleh uskup dan pemberkatan melalui penumpangan tangan. Calvin sangat menekankan agar anak-anak harus dididik dalam iman; makanya Calvin menciptakan suatu upacara yang berkaitan dengan pertama kali anak mengikuti Perjamuan Kudus.

Dalam Institutio, diketahui bahwa upacara tersebut menggantikan konfirmasi GKR. Pengajaran agama menggunakan katekismus sebagai pedoman, diakhiri dengan ujian yang dilakukan oleh pendeta di depan jemaat. Melalui jawaban yang dikemukakan, anak (yang menurut Calvin berusia minimal 10 tahun) mengaku imannya di depan jemaat. Setelah itu diberkati dan diterima dalam persekutuan jemaat di sekitar meja Tuhan [Perjamuan Kudus].

Berbeda dengan kebiasaan di banyak gereja Protestan sekarang yang meneguhkan anggota sidi baru sekali setahun sebelum Jumat Agung, menurut Calvin, anak-anak sidi itu dapat diterima sebagai peserta Perjamuan Kudus setiap kali sakramen dilayankan; empat kali setahun. Calvin juga menghubungkan ujian dengan pemeriksaan iman orang-orang dewasa yang datang dari tempat yang lain dan ingin ikut Perjamuan Kudus di Jenewa. Pengumuman satu minggu kepada warga gereja sebelum Perjamuan Kudus dirayakan untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak dan orang dewasa menghadap majelis gereja agar “diperiksa”.

Apa yang dikerjakan Calvin di Jenewa, dikembangkan oleh gereja-gereja Reformasi di Belanda. Dalam banyak ketetapan sinode ditekankan bahwa yang layak mengikuti Perjamuan Kudus hanya mereka yang mengaku iman di depan pendeta, majelis gereja. Mengaku iman di depan jemaat, baru terjadi setelah abad ke-17. Terhadap orang yang berasal dari tempat lain dan sudah beralih pada Reformasi, cukup jika iman dan kehidupan mereka diperiksa oleh majelis gereja. Namun, bagi yang belum pernah mengikuti Perjamuan Kudus Protestan, harus dididik lebih dahulu, kemudian mengaku iman. Melalui pengakuan tersebut secara terbuka yang bersangkutan dinyatakan menjadi anggota gereja (Gereformeerd) dan menaklukkan diri pada disiplin gereja. Dengan demikian, peneguhan sidi baru mendapat arti penerimaan sebagai anggota jemaat yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Dalam perkembangan setelah organisasi gereja Reformasi dimantapkan, maka ditetapkan usia 18 tahun agar diterima menjadi anggota sidi jemaat karena dipandang dewasa dalam arti hukum.

 

Katekisasi dan Sidi dalam Sejarah Protestantisme di Maluku

Sebelum menukik pada praktik sidi atau peneguhan sidi di GPM, katekisasi perlu ditelisik lagi, karena mustahil sesorang diizinkan sidi tanpa didahului dengan katekisasi. Berdasarkan sumber-sumber primer yang dipublikasi dan literatur lain, dijumpai status warga jemaat sebagai “anggota sidi gereja" di semua jemaat Protestan di masa VOC. Karena keterbatasan ruang dan waktu, hanya disampaikan beberapa cuplikan dari wilayah pelayanan di Maluku dan Maluku Utara.

Pada tahun 1675, ketika Pdt. Montanus mengunjungi Bacan, hanya ada 3 anggota sidi yang dipimpin oleh seorang guru. Selama di situ, Montanus membaptis 3 orang anak dan memberikan pelajaran katekisasi kepada 11 orang dewasa. Di pulau-pulau Selatan-Daya, semisal di pulau Wetar, pada tahun 1682 ditempatkan seorang guru sekolah, tetapi dua tahun kemudian dimutasikan ke Kisar. Pada tahun 1699 keadaan jemaat-jemaat sangat menyedihkan, hanya ada beberapa orang yang “diterima menjadi anggota sidi”. Di Banda Neira pada tahun 1754 dijumpai 1088 orang Kristen, termasuk 72 anggota sidi, 200 murid sekolah. Selain bahasa Melayu dan bahasa Belanda, juga diajarkan doa, pengakuan Iman Rasuli, agama Kristen (Buku Tanya Jawab dari Marnix van St. Aldegonde, Katekismus Heildelberg) dan nyanyian (Mazmur-mazmur Daud).

          Selain itu, ada pula data terekam berupa korespondensi antara Majelis Gereja di Banda dan Majelis Gereja di Batavia di akhir abad ke-18 (31 Agustus 1783).

plaats

lmm

lmv

gem

gev

sk

kbs

ongb

gedk

som

Roma

-

-

15

12

-

-

-

16

43

Wetter

-

-

18

23

25

-

8

20

94

Lethy

-

-

141

118

122

-

11

50

442

Moa

-

-

84

70

-

-

-

41

195

Laikor

-

-

7

-

-

-

19

-

26

Louang

-

-

19

13

11

-

-

29

72

Sermaten

-

-

68

29

-

15

-

73

185

Babber

-

-

82

129

58

-

-

69

338

Damme

-

-

99

126

-

-

-

136

61

Somma

-

-

533

520

216

15

38

434

1.456

Sumber: Brief van de Kerkenraad van Banda aan de Kerkenraad van Batavia (Banda-Neira, 20 Augustus 1765).

 Keterangan:

lmm = leedematen mans; lmv = leedematen vrouwen; gem = gemeene christenen mnl; gev = gemeene christenen vrouwen; sk = kinders in school; kbs = kinders buytn school; ongb = ongedoopte kinderen; gedk = gedoopte kinderen; som = somma.

         Data di atas menunjukkan bahwa menjelang akhir abad ke-18 diketahui jumlah warga jemaat dan kualifikasinya. Begitu pula keadaan jemaat-jemaat di Maluku Utara, semisal di Labuha Pulau Bacan.

         Terkait dengan katekisasi dan sidi, patut dikemukakan bahwa Penghibur Orang Sakit (Ziekentrooster) atau Pengunjung Orang Sakit (Krankbezoeker) berperan penting dalam membangun iman jemaat. Mereka yang ditugaskan berkarya di Hindia Timur (Oost-Indië), lebih dulu dipersiapkan dan dibekali dengan seperangkat ilmu teologi, pengetahuan sekuler yang memadai, serta diharuskan mengikuti pendidikan khusus agar memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh Oost-Indische Compagnie (OIC; VOC). Orang yang sudah memiliki sertifikat, diizinkan melakukan pelayanan. Sertifikat itu harus ditandai dengan segel atau cap gereja (kerckensegel) pada kertas yang dikeluarkan dengan membubuhi tanda tangan pihak yang berwenang (8 Desember 1611).

         Tugas tersebut mulai dilaksanakan selama pelayaran dengan kapal laut menuju Oost-Indië. Selain Firman Allah diberitakan, mereka pun melayani Anak Buah Kapal (ABK) yang membutuhkan bantuan. Dalam pelayanan mereka membawa buku-buku teologi dan buku-buku non-teologi yang diterbitkan oleh Gereja Gereformeerde karena akan digunakan oleh para guru untuk mengajar murid-murid (anak-anak dan pemuda) supaya dapat membaca, menulis, berhitung, dsb. Semua pelajaran itu penting, namun pengajaran agama lebih diprioritaskan agar peserta didik benar-benar mengenal agama Kristen dengan baik. Justru itu, di tempat kerja, mereka diharuskan membangun sekolah. Mereka diharuskan mengetahui dan memahami medan pelayanan serta mampu membina relasi dengan siapa saja, terutama penduduk lokal. Mereka dituntut mengajar katekisasi, berkhotbah atau menyesuaikan diri agar bersama pendeta yang ada, dan diakui secara hukum. Oleh karena itu, selain pelayanan sakramen, mereka diharuskan melakukan Doa Pagi dan Doa Malam, Doa Makan. Dengan cara demikian, diharapkan pengabdian mereka digerakkan oleh Roh Kudus sehingga menghasilkan demi hormat dan kemuliaan nama-Nya.

         Kendati instruksi tersebut dikeluarkan pada tahun 1611, namun diduga sudah berlaku untuk semua pengunjung dan penghibur orang sakit. Tentang hal ini, Th. Van den End mencatat bahwa pada tahun 1603 ada “penghibur orang sakit” yang ditempatkan di benteng melakukan pembaptisan terhadap anak-anak. Diduga, pembaptisan dilayankan terhadap orang Kristen yang berdomisili di kampung-kampung sekitar benteng. Jemaat Labuha, misalnya. Itu berarti, beberapa tahun sebelum pendeta dari Ternate ke Labuha pada tahun 1612, pengunjung atau penghibur orang sakit sudah duluan melakukan pelayanan di Pulau Bacan, Halmahera Selatan.

         Jika sepanjang abad ke-17 dan ke-18, Ziekentrooster atau Krankbezoeker berperan penting di samping pendeta, maka pada abad ke-19 NZG berperan penting. Di era inituagama patut disebutkan karena perannya tidak seperti tuagama pada masa kini. J. Starink (20 Maret 1825) dalam suratnya kepada Direksi NZG, menyebutkan bahwa guru sering dibantu oleh orang “tua gama”. Orangtua Parentah adalah warga elite negeri yang menjabat kepala adat di bawah regen. Sedangkan “orang tua agama” adalah pejabat tanpa gaji, namun dicalonkan oleh kepala negeri, diangkat oleh pemerintah, masa jabatannya terbatas. Jemaat Hative Kecil dan Galala memiliki seorang tuagama yang kerap menjalankan fungsi diaken, kolektan, guru bantu, dan wali gereja. 

         Dalam struktur gereja, tuagama berada di bawah utusan Injil Eropa, penatua, guru, dan Majelis Gereja di Ambon. Mereka sering diminta untuk menguji calon anggota sidi, kunjungan rumah tangga, menegur anggota jemaat, mengajar siswa katekisasi, memimpin kebaktian gereja, memimpin pertemuan doa pada Kamis malam. Mereka pun berperan pada upacara pernikahan, sering diminta oleh guru untuk mengajar di sekolah desa. Dalam rapat-rapat gerejawi di jemaat, mereka dilibatkan; antara lain membicarakan urusan jemaat, menentukan siapa yang dibolehkan atau tidak dibolehkan mengikuti Perjamuan Kudus, malah terhadap anggota jemaat yang berperangai buruk dan menolak nasihat, tuagama dapat menghubungi pihak berwajib (magistraat) untuk bersikap tegas.

         Abineno yang memberikan gambaran tentang pekerjaan apostolat, meliputi: katekisasi, Ibadah, penggembalaan dan disiplin. Mulanya pekerjaan katekisasi tidak dapat dijalankan dengan baik karena kekurangan tenaga pelayan, bahasa yang sulit digunakan oleh zending dan zendeling, kondisi geografis yang sangat menantang, dan sebagainya. Oleh karena itu, majelis jemaat menggunakan tenaga pembantu yang dipandang mampu. Di Indonesia Timur, sekolah tetap digunakan sebagai “pesemaian jemaat” dan berkaitan erat dengan pengajaran katekisasi. Caranya sama seperti masa sebelumnya. Yakni, sesudah anak-anak dididik dan diajakan tentang pengetahuan Alkitab, doa dan nyanyian, mereka – usia sekitar 14 tahun – diterima menjadi pengikut pengajaran katekisasi. Waktu katekisasi berlangsung sekitar satu tahun, dipimpin oleh pendeta-pendeta zending (di jemaat-jemaat besar) atau guru-guru pribumi (di jemaat-jemaat desa).

Sesuai maksud dan tujuan NZG, mula-mula pengajaran katekisasi di banyak jemaat (Indonesia Timur) hanya terdiri dari pengetahuan tentang isi Kitab Suci, khususnya tentang apa yang Tuhan Yesus Kristus lakukan dan katakan. Para pendeta zendingsecara tegas menolak segala sesuatu yang berbau “ajaran sebagai sistem”. Yang penting bagi mereka adalah biografi dan pekerjaan Yesus. Itu sebabnya kita harus menyampaikan Injil kepada orang-orang (“kafir”) yang belum percaya kepada-Nya. Tetapi, dalam perkembangan, “makin berkembang pikiran” para pengikut pengajaran katekisasi dan “keinginan untuk mengetahui kebenaran”, maka pengajaran katekisasi pun berkaitan dengan iman Kristen.

Tentang katakisasi, guru-guru sekolah diberikan tanggung jawab terhadap pengajaran iman berdasarkan katekismus. Justru itu, majelis gereja wajib memeriksa para calon guru sekolah, wajib menandatangani katekismus Heidelberg. Karena pengaruh Pietisme, di kemudian hari katekisasi berlangsung sekurang-kurangnya selama dua tahun, dan perhatian tidak hanya diberikan pada pengetahuan iman dengan cara menghafal katekismus, tetapi terlebih penghayatan iman. Katekisasi baru menjadi tugas pendeta pada abad ke-19, ketika sekolah-sekolah negeri menjadi netral sehingga pengajaran agama tidak lagi diawasi oleh gereja.

Literatur yang Digunakan

         Mengacu pada gambaran di atas, maka ada sjumlah literatur yang digunakan dalam katekisasi (gereja), dan sekolah, antara lain sebagai berikut:

Alkitab, Kitab Mazmur, Katekismus Haidelberg (berbagai terjemahan), Ichtisan atau Pengadjaran kebenaran jang pohon ibadat (buku soal-jawab terjemahan Werndly). Pengadjaran jang pendek guna segala awrang jang suka masukh kepada agama Masehhij (= 40 soal jawab), Pengadjaran jang terpendekh (= 19 soal-jawab), buku-buku pedoman tentang iman Kristen dan buku-buku lain dalam bentuk soal-jawab.

         Doa Bapa Kami
         Sombahayang tuankoe Iesu Christi:
         Bappa hamba jang berdoukock cadalam sorga
         berulcadoes menjady namamoe, hoccumanmoe mendatang-y,
         candahatymoe menjadi deatas boemy seperti de dalam sorga.
         Beryla hambamoe macannan sedecala hary.
         Macka beramponla doosa kyta
         Seperti kyta berampon capade jang bersalah kapada hamba.
         D’jang-an berhenter kyta kapada fael seytan.
         Macka pon mohoonla kyta dary pada yblis.
         Carna Tuan ampoen’-nja hoccuman, daen kauwassahan, dan berbassaran,
         dary sacarang lalou ka cakal. Amin.

         Pengakuan Iman
         Segala bagy capalang dery agama heakiman Christan
1.          Hamba heakin kapada Allah Tallah, bapa cauwassahan jang menjadi sorga daen boemy.
2.          Daen capade Jesu Christi, Anackn’-nja, Tuan kyta.
3.          Jang menjadi dary roah ulcadoes, daen beranacky dary anac darah Mariam.
4.          Jang merasa hoccum Pontius Pilatus, bergantung kakrous, bermaty, bertanam, bertoeron kanareka.
5.          Macka kapada hary jang katyga berbangkit dary maty.
6.          Menaycki ca sorga, berdoudoc ka tangan canan Allah Taallah bappan’ja cauwassahan.
7.          Dary mana dea mendatang-y berhoccumcan manusea jang hydop daen maty.
8.          Hamba heakin kapada roah ulcadoes.
9.          Daen samatouw egresia christan mohsyna, jang jady y-jalâ mohsyna segala mouminamyh.
10.       Daen maaf segala doosa.
11.       Daen bangkitan daging badan.
12.       Daen akan sawatou hydopan cacal. Amin
 

         Seb. Danckaerts, De catechismus van Marnix van St. Aldegonde, 1682
Adjaran dalam jang manna jadi caberadjar capalla capallanja derri Agamma Christaon [Onderwijs waarin de hoofdzaken van de christelijke godsdienst worden geleerd], Amsterdam 1682. Wendly 327v; Landwehr 668.

 

         Penutup

Kata “sidi” sudah di-Indonesia-kan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “sidi berarti anggota yang sah dari suatu gereja”. Dengan begitu maka “peneguhan sidi” yang dilakukan terhadap orang-orang yang telah menyelesaikan pendidikan katekisasi selama waktu tertentu perlu diteguhkan dalam ibadah jemaat sebagai anggota dewasa gereja. Hal ini tertuang dalam Liturgi Ibadah Sidi Gereja Protestan Maluku (GPM). Di Indonesia, dan di Maluku, gereja-gereja yang lahir dari usaha pekabaran Injil Belanda pada umumnya mengikuti pola gereja induk di Belanda yang calvinistis, termasuk GPM yang bertebaran di Provinsi Maluku dan Maluku Utara.

Pada abad ke-19 dan ke-20, persiapan katekisasi di jemaat-jemaat kecil, semisal di desa-desa, dilakukan oleh guru-guru pribumi dan dipimpin oleh pendeta. Persiapan itu termasuk menambah pengetahuan yang telah mereka miliki, hal-hal rohani yang harus disampaikan kepada sesama dll. Pada umumnya guru-guru sangat setia mengikuti persiapan dan meneruskan kebenaran yang telah diterima kepada murid katekisasi. Pengajaran katekisasi biasanya diakhiri dengan upacara peneguhan (anggota sidi), yang didahului oleh “pemeriksaan”. Di jemaat-jemaat besar, pada umumnya pemeriksaan itu berlangsung cepat dan tidak mendalam. Kendati demikian,  kerap terjadi, bahwa ada calon yang ditolak karena “kurang pengetahuan dan perasaan keagamaannya”.

Di abad ke-20, ketika “sidi baru” dilaksanakan, selalu terdengar ucapan selamat berupa verzoek yang dikirim lewat RRI Ambon: “... kepada Sdr./Sdri./ .... selamat menjabat pangkat sidi baru...”. Ucapan demikian menunjukkan bahwa orang yang sidi mengalamai peningkatan level kekristenannya.

Menyangkut katekisasi dan peneguhan sidi, muncul di daerah tertentu kebiasaan khusus. Di Ambon, menurut Christiaan de Jonge, para calon sidi dengan umur orang dianggap dewasa dibalikkan; Bukan orang menjadi dewasa barulah menjadi anggota sidi gereja, tetapi harus disidikan agar menjadi dewasa. Kendati begitu, semoga GPM yang kini telah memiliki materi atau buku ajar untuk murid katekisasi perlu memperhitungkan konteks zaman, kendati perlu memerhatikan materi pastoral, evangelisasi, menyusun khotbah, dll. Penambahan ini dikarenakan tanggung jawab pastoral, juga tanggung jawab misi, dan lain-lain ada juga pada warga gereja dewasa [sidi]. Bagaimana dapat melakukan pelayanan Konseling Pastoral, ber-PI sedangkan yang bersangkutan belum memiliki wawasan, tidak belajar dan berlatih agar terampil selama mengikuti pendidikan katekisasi.

Semoga ulasan ini dapat memberikan sedikit pengetahuan dan pencerahan sehingga kaekisasi, sidi dan peneguhan sidi yang berlangsung selama berabad-abad lamanya di Maluku dapat dipahami dan disikapi secara cerdas.

 

Referensi
Abineno J.L.Ch. 1978. Hampiran Sejarah Apostolah di Indonesia, I/2. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Abineno J.L.Ch. 1978. Hampiran Sejarah Apostolah di Indonesia, II/1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Archief voor de Geschiedenis der Oude Hollandsche Zending, V, De Molukken, 1603-1624. Utrecht: C. Van Bentum, 1890.
De Jonge Christiaan. 2015. Apa Itu Calvinisme? Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Enklaar I.H. 1953. JOSEPH KAM ,Apostel der Molukker’. ‘s-Gravenhage: Boekencentrum N.V.
Niemeijer H.E. dan Th. Van den End. 2015. Bronnen Betreffende Kerk en School in de Gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten Tijde van de Verenigde Oost-Indische Compagnie 1605-1791, Dell I-IV. Den Haag: Huygens (KNAW).
Wellem F.D. 1994. Kamus Sejarah GerejaJakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Van den End Th. 2001. Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Van den End Th. 2015. Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1500-1860-an, Ragi Carita 1.  Jakarta: BPK Gunung Mulia.


1 Materi ini telah dikembangkan dari materi pertama berjudul: SIDI - Hampiran Historis Teologis yang disampaikan pada Sidang Ke-5 Klasis Pulau Ambon Timur di Gedung Gereja Elohim, Jemaat GPM Latta; Senin, 3 April 2017. Naskah yang terakhir ini disampaikan dalam rangka Pelaksanaan Pembinaan dan Pekabaran Injil kepada Umat melalui Program Tinta (Telaah Injil Kita) melalui Podcast di Ruang Media Centre GPM pada hari Kamis 20 Maret 2025, pukul 12:00 WIT.

Geen opmerkingen:

Een reactie posten

Sambutan Rektor

  SAMBUTAN REKTOR UKIM   PADA ACARA PENANDATANGANAN KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN UNIVERSITAS KRIS...