zaterdag 12 april 2025

Rumah Peradaban

MENEROPONG PENDIDIKAN DARI RUMAH PERADABAN

DI PULAU-PULAU TERDEPAN, MALUKU BARAT DAYA

Hampiran Sejarah Budaya

 

Wonreli, Kisar 25 Oktober 2019

Cornelis Adolf Alyona

 

RUMAH PERADABAN DI PULAU TERDEPAN

Rumah Peradaban merupakan konsep baru untuk program Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Program ini dijadikan sarana pendidikan dalam satu dekade ke depan untuk menyampaikan pemahaman tentang sejarah dan budaya masa lampau dalam rangka mencerdaskan bangsa, menumbuhkan spirit kebangsaan, menguatkan pemahaman tentang karakter danjati diri serta kebudayaan sebagai bagian dari revolusi mental, restorasi sosial dan pemikiran tentang persatuan dan pluralisme.

            Pulau Kisar dipilih untuk program tersebut karena dipandang sebagai salah satu pusat peradaban masa silam di Timur Nusantara – salah satu benteng pertahanan Indonesia – dan, posisi Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) di mana Pulau-pulau Terdepan atau Terluar di Wilayah Perbatasan termasuk kawasan strategis nasional. Dalam khasanah arsip Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), antara lain disebutkan Pulau Letty terletak di sekitar Laut Timor, berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste. Pulau Wetar (Wetter) terletak di Laut Banda. Pulau Batu Goyang di bagian selatan yang berbatasan dengan negara Australia, terletak di Laut Aru. Pulau Larat (Larad) terletak di Laut Aru, berbatasan dengan Negara Australia. Pulau Marsela terletak di Laut Timor, berbatasan dengan Negara Timor Leste dan Australia. Pulau Selaru terletak di Laut Timor dan berbatasan dengan Negara Australia. Dalam perkembangan, diketahui ada sembilan puluh dua pulau yang terletak di perbatasan dengan Australia dan Timor Leste. Delapan belas pulau atau 19,56% berada di Kepulauan Maluku sebagai wilayah yang menjadi rumah bagi pulau terluar sehingga patut mendapat perhatian yang setara dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia, khususnya dalam kaitan dengan pengembangan pengetahuan arkeologi, budaya dan pendidikan.

            Mengingat perbatasan wilayah Republik Indonesia dengan beberapa negara tetangga telah menjadi isu internasional, maka berdasarkan tanggung jawab sejarah, ANRI menyikapinya dengan memberikan dukungan sebagai bukti kepemilikan wilayah NKRI. Maka diterbitkanlah naskah “Kontrak Perjanjian Wilayah Perbatasan Republik Indonesia” dalam rangka mempertahankan kedaulatan NKRI dengan cara memperkuat status hukum perbatasan. Dalam bingkai kedaulatan itu, tulisan ini dihampiri dari perspektif sejarah budaya sehingga dengan program Rumah Peradaban, masyarakat dan generasi pelajar semakin mencintai budaya dan menghargai berbagai peninggalan demi menumbuhkan dan memperkuat karakter dan jatidiri bangsa.

 

KEBUDAYAAN: Dari Problema Pengertian Menuju Peradaban/Pengadaban

Hampir tidak dapat dipercaya, kata “kebudayaan” paling banyak ditafsirkan, diberi isi dan didefinisikan. A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn yang menyelidiki 160 definisi kata ini mengelompokkannya dalam beberapa kategori, masing-masing menurut pendekatan ilmu tertentu, dengan aksentuasi tertentu pula. Ada yang meninjau kata “kebudayaan” secara etimologis. Kerap kata itu dipilah menurut suku kata, lantas diberi arti per suku kata. Ada yang memilah dari “budi” dan “daya”, kemudian tiap suku kata diberi arti yang berbeda-beda dan keseluruhannya ditafsirkan lain lagi.

            Paling sering kata kebudayaan diasalkan dari bahasa Sansekertabuddhaya (bentuk jamak dari “buddi”) yang berarti akal, maksud dan pandangan. Padahal ada kata Sansekerta abhyudaya yang mendekati kata “kebudayaan” berarti hasil baik, kemajuan, kemakmuran yang serba lengkap. Malah sudah menjadi kebiasaan umum membedah arti “kebudayaan” secara etimologis atau disejajarkan dengan kata-kata belaka. Kesimpang-siuran tinjauan etimologis dapat membingungkan, dikarenakan setiap bahasa memiliki asal-usul, filosofi dan perkembangan sehingga bisa terjadi pembiasan isi kata “kebudayaan” dalam konteksnya. Justru itu kata kebudayaan sebaiknya dipahami secara “konvensi” – kata yang digunakan menurut masyarakat pemakai bahasa tersebut.

 

            Arti, Konsep, dan Pemaknaan

            Adalah Van Peursen yang menelisik pergeseran arti kebudayaan ke “peradaban” dari sisi “arti” dan “isi” konsep kebudayaan. Menyangkut aspek arti, dulu “kebudayaan” diartikan sebagai wujud hidup manusia berbudi luhur dan bersifat rohani seperti tampak pada agama, seni, filsafat, ilmu, tata-negara. Akibatnya “kebudayaan” disejajarkan dengan “peradaban” dan dapat dibandingkan dengan “Bekeringen Beschaving” karya August Theodoor Boone. Kini, kebudayaan diartikan sebagai perwujudan hidup setiap orang atau kelompok orang yang mengolah dan mengubah alam. Kebudayaan tidak semata mencakup karya seni, ilmu pengetahuan, alat, pakaian, dst., tetapi juga cara menghayati kematian, cara melaksanakan perkawinan, dll. Kebudayaan menjadi gejala manusiawi dari kegiatan berpikir (mitos, ideologi, ilmu), kegiatan komunikasi (sistem masyarakat), kegiatan kerja (ilmu-ilmu alam dan teknologi) dan berbagai kegiatan sederhana lain semisal bela negara dijadikan budaya juga.

            Dari segi isi konsep, dulu kebudayaan dipahami sebagai kata benda; berkonotasi pada hasil kerja manusia mengubah lingkungan. Kebudayaan dipahami sebagai buku, karya seni, gedung, alat upacara, koleksi museum. Kini dilihat sebagai kata kerja; dipahami sebagai kegiatan membuat alat, mendidik, menari, berburu, mengelola tanah, bercinta, tata upacara, pola tingkah-laku, dst. dipahami sebagai “kegiatan produktif”; dari pemahaman statis menjadi dinamis. J. Verkuyl merumuskannya demikian: “Alles, was ‘man made’ ist, ist Kultur. Kultur ist also Produkt des Menschen”.

            Dalam rangka pemaknaan, tulis Irmayanti M. Budianto yang mencuplik tuturan Haiden White, “sejarah memiliki fungsi untuk memberikan keteraturan dan makna pada masa silam. Tanpa penulisan sejarah, masa silam akan lewat bagai bayu atau merupakan carut-marut peristiwa yang sedemikian plural, ruwet, rumit dan tidak bisa dicerna. Dan, dalam fungsi memproduksi dan mensirkulasikan makna, sejarah – seperti halnya sastra dan seni – merupakan salah satu praktik terpenting dalam proses-proses kebudayaan. Jadi, melalui penulisan sejarah, suatu komunitas dapat dipahami atau memahami dirinya. Terjadi jalinan mesra antara penulisan sejarah dengan identitas; berkontribusi untuk pembentukan rasa berbangsa generasi ke generasi. Maka tepatlah kata Louis Luzbetak katakan, “Kultur als design for living”.

            Dari gambaran di atas, kiranya kebudayaan dapat dipahami secara jernih; tidak semata sebagai warisan leluhur, tetapi juga sesuatu yang sedang diciptakan. Bukan hanya masa silam yang dibanggakan, tetapi keharusan masa depan yang mesti dirancang. Kita semua berkepentingan untuk membangun bangsa dengan memperhitungkan betul berbagai aspek dari cara berada anak bangsa di Pulau-pulau Terdepan Maluku Barat Daya.

 

SEJARAHDARI PERSPEKTIF STUDI BUDAYA: Teks, Kenyataan, Representasi, dan Pemaknaan

Sejarah dan Arkeologis tidak hanya dekat, tetapi melekat. Sejarah berfokus pada dokumen, Arkeologi berorientasi pada artefak. Sejarah relatif bebas mengambil temuan-temuan arkeologi untuk memperkuat argumen-argumen tertentu dalam periwayatan sejarah pada masa-masa awal – juga pada masa sesudahnya. Dua-duanya bertujuan untuk mengungkap kehidupan masa lalu. Dalam konteks sejarah Indonesia, penggunaan pendekatan arkeologi khususnya dan filologi, antropologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial lain merupakan kombinasi yang sangat baik dan penting dalam penelitian dan penulisan sejarah total. Begitu tulis Azyumardi Azra, Gurubesar sejarah, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam kaitan dengan budaya, Sutrisno mengingatkan kita pada beberapa aspek: pertama, tiap orang lahir dalam konteks sosio-kultural, mengikuti pola budaya yang ada, dibentuk oleh aspek non-biologis dari manusia; Kedua, manusia membentuk kebudayaan: menghasilkan, mendukung dan meneruskan; Ketiga, kebudayaan dipandang sebagai kesepakatan anggota masyarakat untuk mengatur tingkah-laku; Keempat, pengaruh kebudayaan bisa disadari, bisa tidak disadari; Kelima, unsur penting dari kebudayaan yaitu worldviews yang berfungsi memolakan (struktur) dan mempengaruhi tindakan (performance).

            Dalam cultural studies, segala sesuatu yang dapat dibaca sebagai tekstidak terbatas pada karya sastra semisalfilm, foto, lukisan, bangunan, dan bahan tertulis lain, melainkan juga ritual, tradisi, malah suatu event sejarah. Ini sejalan dengan sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah, yakni sumber material (dokumen, dll.) dan immaterial (agama, kepercayaan, tradisi, dst.).

            Karena, peristiwa sejarah terjadi sebagai realitas, tetapi ketika kenyataan itu dihadirkan kembali dalam berita, catatan, rekaman video, foto, monumen sejarah, atau wawancara dengan saksi dan pelaku, maka ia menjadi teks. Jika metode ilmu sejarah mengklasifikasikan teks berdasarkan realibilitas, maka cultural studies melihat teks sebagai representasi. Jadi teks sejarah merupakan representasi, terutama dalam rangka menghadirkan atau menyusun kembali realitas.

            Oleh karena itu, perlu dicari dan dihimpun untuk dimaknakan berbagai ragam produk budaya di Pulau-pulau Terdepan, seperti lagu, tari, puisi, kapata, ritual, folklore, mitos (didekati dari kesadaran sejarah), dan sebagainya yang merupakan dokumen sejarah yang sangat bernilai, bukan semata untuk fakta, tetapi juga merekam “struktur perasaan”. Maka, penulisan sejarah merupakan wilayah yang penting dalam proses pemaknaan – wilayah utama dari proses budaya. Tetapi bagaimana pemaknaan itu sehari-hari bertarung dengan beragam pemaknaan yang lain di lapangan merupakan ajang penelitian yang penting untuk memperoleh pemahaman yang lebih kompleks tentang apa yang terjadi pada suatu saat dalam kehidupan suatu bangsa. Terbentang tantangan dan peluang bagi sejarawan, arkeolog, ilmuwan budaya, pemerintah setempat dan lainnya.

            Berdasarkan ulasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa realitas yang mengandung makna sifatnya selalu Ideografis; menggambarkan atau mengungkap kekhususan suatu objek yang diteliti. Karena Ranah Makna selalu berhubungan dengan manusia, maka hubungannya disebut “hubungan dialogis” atau “simetris” dikarenakan ada subjek (orang) yang bergerak di balik objek optik (benda).

            Ilmu yang membicarakan Ranah Makna adalah Hermeneutik untuk mengungkap makna karena ada pesan di dalamnya. Namun mengerjakannya tidak segampang yang dibayangkan. Kata orang, interpretasi itu subjektif; tidak mengandung nilai ilmiah. Justru kegiatan manusia yang khas untuk mengangkat benda-benda simbolis dapat dikerjakan dengan melakukan interpretasi. Yang primer dalam hermeneutika adalah makna seperti benda peninggalan sejarah, arkeologi; entah batu, entah benda klasik, apa lagi Arsip. Kendati materinya tak lagi menarik, kumal, usang, toch ada pesan bermakna dan simbol penting yang bernilai dan mahal. Metodologinya Ranah Makna, objeknya yang bermakna, tujuannya mengungkap makna, ilmunya hermeneutika yang berorientasi pada understanding.

 

PENDIDIKAN TRADISIONAL

Pendidikan merupakan the way atau “jembatan emas” untuk menggapai masa depan yang lebih baik. Dalam tulisan ini, pendidikan informal tidak diulas, hanya pendidikan tradisional dan pendidikan formal.

Sebelum agama-agama (Budha, Hindu, Islam, Kristen) datang dan berpengaruh, masyarakat tradisional di Nusantara sudah lebih dulu memiliki kebudayaan asli (neolitis). Dalam masyarakat tradisional, pendidikan dilakukan oleh ayah dan ibu dalam lingkungan keluarga sesuai kebutuhan. Tujuannya agar anak kelak memegang kekuasaan dalam masyarakat sebagai manusia yang memiliki kecakapan istimewa. Manusia yang dicita-citakan adalah manusia yang memiliki semangat gotong-royong, menghormati pemimpin, dan manusia yang taat adat. Seperti suku bangsa lain pada umumnya, orang Maluku pun mengenal dan memiliki kegiatan dan lembaga pendidikan tradisional-informal untuk menurun-alihkan nilai, pengetahuan dan keterampilan.

 

            Selayang Struktur KamasyarakatanTradisional

            Sebelum agama dan bangsa-bangsa Eropa masuk dan berpengaruh, di Maluku sudah ada kesatuan-kesatuan masyarakat sosial yang teratur. Mereka hidup berkelompok di pedalaman yang berbukit, bergunung dan pesisir, kemudian membentuk masyarakat hukum geneologis, lantas berkembang menjadi kesatuan-kesatuan politis dengan sebutan khas bahasa setempat, seperti "kampung" yang dikepalai oleh "Rat", "Raja" atau "Orang Kaya" (Maluku Tenggara), dll. menurut sebutan setempat.

            Masyarakat demikian terdiri dari beberapa "keluarga batih", kemudian berkembang menjadi "klan-klan" yang lebih luas. Untuk memenuhi kebutuhan makanan, mereka mengumpul buah-buahan dan sayur-sayuran sambil berburu binatang buruan di hutan atau menangkap ikan di laut dengan cara tradisional. Di sektor pertanian mereka mengolah kebun dengan tanaman ketela pohon, ubi jalar, talas, dll. Rasa seni dan keindahan seni budaya dituangkan dalam berbagai segi kehidupan dan pandangan hidup. Ekspresi seni itu tampak dalam seni suara, seni tari, seni rupa, seni hias (syair, tari, seni patung dan ukir), dan seni bangunan. Semua itu dipelihara dan diturun-alihkan orang tua kepada anak melalui pendidikan tradisional; diatur dan dijalankan menurut norma-norma adat.

 

            Panaur dari Desa Tutukey di Yotowawa Daisuli, Pulau Kisar

            Panaur adalah "rumah tua desa" yang dibangun para leluhur ketika mereka menempati suatu wilayah di Maluku Tenggara. Panaur yang memiliki delapan sudut itu diyakini masyarakat memiliki kekuatan magis dan berfungsi sebagai tempat musyawarah tradisional. Panaur dilihat juga sebagai pusat tumpuan kekuatan desa dan dianggap sakral. Karena itu setiap upacara (pelantikan raja, perkawinan adat, penyelesaian masalah adat atau hal memohon berkat dan kutuk) dilakukan di Panaur. 

            Joseph Kam yang melakukan perjalanan ke Pulau-pulau Selatan Daya sesuai besluit Gubernur Maluku Mr. P. Merkus ketika mampir di Letty (13 Juni 1825) selama tiga hari menyebutkan bahwa ada satu kampung yang terdiri atas kurang lebih 60 rumah dekat negeri Tutukey.

            Pilliamuali adalah bangsawan dari mata rumah Anyotwawe di desa Tutukey. Ia meninggalkan kampung halaman, keluarga, rumah, mata rumah dan peralatan perang dengan tujuan mencari tempat pemukiman baru, menyebarkan keturunan, kebudayaan, adat-istiadat dan lain-lain. Sementara mengerjakan perahu yang bakal digunakannya, datang bangsawan Posritiau dari pulau Sermatang. Karena keduanya memiliki tujuan yang sama, maka dibuat perjanjian: "Saudaraku, suatu ketika di antara kita berdua hendak bepergian, haruslah bersama-sama, meninggal pun harus bersama-sama dan menghadapi ancaman atau perang pun harus bersama-sama. Serta mendapatkan pulau sebagai tempat pemukiman baru maka harus berkumpul bersama-sama. Saudaraku, jangan lupa janji ini".

       Posritiau lebih dulu tiba di desa Sikri Kiekar, kemudian tiba Pilliamuali yang memiliki ketrampilan pandai besi (membuat parang, tombak, pisau dll.); suatu ketrampilan yang baru bagi masyarakat setempat. Karena itu, setiap hari Makotiaman (bangsawan desa Tomra) memperhatikan Pilliamuali bekerja. Suatu hari Pilliamuali mohon bantuan Makotiaman mengambil air laut untuk mendinginkan besi yang telah dikerjakan. Makotiaman mengambil sebuah keranjang dari anyaman bambu (lukre) untuk mengambil air laut sebagai pendingin besi. Pilliamuali terperanjat melihat kemampuan ilmu Makotiaman. Karena merasa tersaingi, ia mengambil tombak menancapkan ke udara sambil menari-nari, namun tidak lama tombak itu jatuh. Selanjutnya Makotiaman mengambil dua utas tali dari serat daun koli (kosre) dan merangkai air laut sebagai pendingin besi. Sejak itu Pilliamuali menaruh dendam padanya.                     Beberapa hari kemudian Makotiaman kembali menyaksikan Pilliamuali bekerja. Tanpa curiga Makotiaman memenuhi permintaan Pilliamuali untuk memegang besi yang akan ditempa. Sementara memperhatikan besi yang dipegangnya, pukulan palunya jatuh tepat di kepala Makotiaman, dan ia mati. Masyarakat yang mengetahui peristiwa itu marah sehingga Pilliamuali dan pengikutnya melarikan diri dengan perahu (Ruskoly Lelpiali) ke arah Timur dan mendarat di Endieul (± 3 kilometer dari desa Sikri Kiekar). Kemudian mereka ke Selatan, dan setelah diperiksa bahwa tempat itu aman, mereka menuju tanjung Sondawa dan memilihnya sebagai tempat pemukiman (± 80 x 70 M2).

       Setelah menetap, mereka membuat pagar dari batu (lutur) mengelilingi pemukiman dengan menggunakan seekor naga besar (railawan). Pagar batu itu berpintu dua: pintu Selatan (pintu Yotowawa) dan pintu Timur (pintu Letlay). Setelah selesai, datanglah Posritiau sesuai perjanjian mereka. Kemudian Pilliamuali membentuk Desa Tutukey dan mengatur pemerintahan dengan membangun Panaur sebagai tempat pertemuan yang sampai sekarang masih ada di tengah negeri, di samping pohon beringin. Setelah itu dibangun rumah dari tiap mata rumah. Sebelah Utara didirikan rumah Surwuy (Rumah kiasi), sebelah Selatan ditempatkan kelompok pengikutnya, sebelah Barat Daya Pilliamuali menempatkan Posritiau dan membangun rumah Surmiasa. Setelah semuanya selesai ia mengumumkan dirinya sebagai tuan tanah (Orlette) dari mata rumah SurwuyAnyotwawe dan Posritiau dari mata rumah Surmiasa.

       Sejak itu Pilliamuali mengatur jalannya pemerintahan, adat-istiadat, kebudayaan, menenun, membuat alat-alat rumah tangga dari besi dan tanah liat serta menentukan tingkatan (kasta) pada setiap mata rumah, yakni: Marna (golongan bangsawan) sebagai pendahulu dan promotor di desa. Buur (golongan menengah) sebagai orang-orang yang memiliki kesaktian, pendukung (penasihat). Stam (golongan rakyat) yang kalah perang (siasat). Ate (golongan budak) yang tidak memiliki warisan (pesuruh dan pembantu). Kemudian Pilliamuali menempatkan delapan orang Marna pada tiap-tiap mata rumah untuk menyusun adat-istiadat desa, hukum adat dan lain-lain.       Angka delapan merupakan simbol dari Panaur (memiliki delapan sudut) yang disesuaikan dengan arah mata angin, yaitu: Rai (Utara), Tranna (Selatan), Warta (Barat), Tipru(Timur). Rai warta (Barat laut), Trannan warta (barat daya), Rai tipru (Timur laut), Trannantipru (Tenggara). Mereka percaya, bahwa setiap sudut Panaur memiliki kekuatan (sakral) dan berfungsi sebagai tempat pertemuan dan upacara tradisional.

       Dalam sistem pemerintahan tradisional, turunan dari Surwuy (Anyotwawe) berhak mengatur sistem pemerintahan desa dengan struktur: Raja (orang kaya) pemegang pemerintahan tertinggi yang berasal dari mata rumah Sorsery dengan tugas mengurusi pemerintahan dalam negeri dan melindungi desa dari ancaman dari arah Utara (laut). Kaptene (panglima perang) berasal dari turunan mata rumah Prilulu dengan tugas mengatur strategi perang dan melindungi masyarakat dari ancaman pihak luar. Porwisi (wakil desa) berasal dari mata rumah Tummuati dengan tugas membantu raja dan kaptene dalam urusan pemerintahan desa (dapat disebut sekretaris desa). Riesre (penasihat desa) terdiri atas dua orang: yang seorang dari turunan Surwuwy dan lainnya dari turunan Rumkesar. Tugas mereka: memberi nasihat menyangkut kehidupan bersama kepada warga desa termasuk staf pemerintahan desa. Ina Ama Lete (saniri negeri) adalah utusan dari setiap soa dengan tugas mengurus pelbagai masalah yang terjadi dalam desa. Selanjutnya kepala soa dan kepala mata rumah (kelompok kecil) dengan tugas mengurusi setiap soa dan mata rumah.

 

            Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa setiap desa merupakan suatu persekutuan adat dengan struktur pemerintahan dan pembagian tugas yang jelas. Dalam kerangka struktur kemasyarakatan tradisional seperti di atas, warganya menyelenggarakan kegiatan pendidikan tradisionalnya. Landasan struktur kemasyarakatan dan sistem pendidikan yang tradisional itu adalah Adat.

 

            Adat sebagai Sistem yang Merangkum Bidang Kehidupan

            Adat atau adat-istiadat adalah kebiasaan tata kehidupan yang diturunkan para leluhur kepada generasinya karena dianggap penting. Adat bukan sekadar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu yang mencakup seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani, masa kini dan masa depan, hubungan dengan sesama dan hubungan dengan "sang pencipta", keselarasan antara si aku (mikrokosmos) dan seluruh jagad (makrokosmos)".

            Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada saat mengikuti ritus atau suatu upacara adat, orang mengalami proses (sosialisasi) pendidikan berupa penyampaian atauperolehan nilai, pengetahuan dan keterampilan di satu sisi, dan di sisi lain pihak ia memelihara dan mempertahankan adat itu. Dengan kalimat lain, pada waktu berlangsung suatu upacara adat, berlangsung pula proses pendidikan berupa "pendidikan masyarakat" (social education) yang berupa "pendidikan di dalam tindakan" (education in action); terjadi proses belajar-mengajar yang sangat intensif dan konkrit. Bagaimana dengan adat-istiadat di Pulau-pulau Terdepan?

 

            Beberapa Jenis Pengetahuan dan Keterampilan Teknis – Praktis

            Orang-orang yang memiliki pengetahuan khusus disebut "tukang".Ahli batu disebut "tukang batu", demikian seterusnya. Cara sang tukang menurun-alihkan pengetahuan dan keterampilan pada umumnya melalui pengalaman ketika bekerja. Beberapa contoh di bawah ini memperlihatkan betapa kita pun memiliki produk budaya yang bersifat material, selain bersifat sosial, moral dan religius (imaterial).

            Rumah – Pada zaman dahulu, biasanya rumah dibangun di atas tiang kayu; mungkin dikonstruksikan untuk melindungi diri dari ancaman musuh seperti binatang atau bahaya banjir. Ada pula rumah yang didirikan di puncak bukit sehingga ketika angin barat bertiup melalui sela-sela bukit, bidang-bidang atap yang panjang melindungi penghuninya dari dingin yang menyengat. Itu berarti bentuk gaya atap rumah yang dikerjakan leluhur disesuaikan dengan lokasi dan iklim setempat; paling tidak situasi dan lingkungan membuat mereka mengembangkan kreativitas sendiri. Sedangkan proses pembuatannya diarsiteki oleh pemuka desa atau “tukang”. Bagaimana dengan Pulau-pulau Terdepan?

            Kampung – Pada mulanya penduduk asli berdiam dalam gua-gua batu. Dalam perkembangan. Karena, kebutuhan lahan dan tujuan tertentu, akhirnya mereka membentuk pola perkampungan, semisal PanaurPola perkampungan mereka diarsiteki oleh pemimpin kampung atau tukang dan dikerjakan secara gotong-royong. Bagaimana dengan Pulau-pulau Terdepan?

            Perahu – Sejak dahulu, sarana transportasi yang digunakan leluhur adalah sampan dan arombai, arombai jaring (perahu besar dengan jaring), dan perahu kecil (perahu tonda). Di Maluku Tenggara dijumpai pula perahu-perahu seremonial jenis lain. Bagaimana dengan Pulau-pulau Terdepan?

            Perangkap – Leluhur memiliki banyak akal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk itu mereka membuat perangkap untuk binatang di air, di darat dan di pohon. Perangkap untuk binatang di air dilukiskan A. Ferdinandus, M., sebagai berikut:

            Yang dimaksudkan dengan binatang di air adalah binatang yang hidup di laut atau di sungai, yang biasanya ditangkap oleh leluhur untuk kebutuhan makanan. Daerah perairan yang biasa digunakan adalah sungai (air tawar) untuk ikan kabus, mujair, mas dan morea (belut) dll., dengan menggunakan perangkap bubu dan senapan ikan. Pesisir pantai (pasang surut atau meti: untuk ikan jenis batu-batuan seperti ikan salmaneti, tatu bendera, samander, kapas-kapas, gora, gurita, dll.) dengan menggunakan perangkap amanisal, siro-siro kecil, panah-panah, kalawai, sero batu. Laut dangkal (untuk ikan saku, momar, kawalinya, gosau, kaluna, make, dll.) dengan menggunakan jala, redi, sosoki, sero, bubu, kalawai dan pancing. Laut dalam (untuk ikan julung, tuing-tuing, komu, cakalang, garopa, sekuda, dll.) dengan menggunakan jaring, pancing tonda dan siro-siro besar.  Laut lepas (untuk ikan cakalang, komu, dll.) dengan menggunakan alat pancing tonda.

 

            Binatang-binatang di darat yang sering diburu oleh leluhur adalah babi, rusa, kasuari, pelanduk, jenis tikus tanah dan ayam hutan (burung Maleo). Untuk itu mereka membuat dodeso babi dan dodeso rusa atau panah untuk kedua-duanya. Semua dodeso itu biasanya ditempatkan leluhur di jalan setapak, di kebun, di tempat di mana binatang sering bermain atau bertelur. Perangkap binatang di pohon antara lain dodeso kusu (untuk kuskus). Selain jenis perangkap ini, ada pula perangkap untuk burung di pohon yang besar dan rindang. Pengetahuan dan keterampilan warga desa yang mengerjakan perangkap ini diperoleh dari pengalaman yang diturun-alihkan oleh orangtua, atau tukang pembuat perangkap. Bagaimana dengan Pulau-pulau Terdepan?

            Pertenunan – Pada koleksi etnografi di Museum Negeri Siwalima Propinsi Maluku di Ambon terdapat tiga batu berbentuk persegi dengan garis-garis melintang yang berasal dari zaman pra sejarah. Batu-batu itu digunakan leluhur sebagai penumbuk kulit kayu (ganemu atau melinjo) untuk bahan pakaian. Jadi menenun merupakan warisan budaya yang dikenal leluhur. Kebiasaan menenun ini diteruskan kepada generasi berikut sebagai kebudayaan. Motif-motif yang dibuat sebagai simbol penghayatan dan peringatan agar generasi berikut menghormati para leluhur merupakan penurun-alihan keterampilan menenun yang pada umumnya dilakukan kaum perempuan. ZendelingLuijke pernah mengembangkan pertenunan untuk melibatkan anak perempuan di dunia pendidikan. Bagaimana dengan Pulau-pulau Terdepan?

            Perlengkapan Hidup Lain – Orang Maluku telah mengenal dan membuat sendiri beraneka ragam perlengkapan hidup berupa alat-alat rumah tangga, pertanian, senjata, perhiasan, dsb. yang terbuat dari logam, kayu, rotan, tanduk, dll. Peralatan hidup itu antara lain sebagai berikut:

a.    Ornamen (Perhiasan). Rupanya perhiasan (ornamen) yang diberikan pada benda-benda (keramik) sesuai fungsi dan adat pemakainya, misalnya Di Maluku Tenggara, dikenal ornamen ragam hias lukis dengan warna putih, coklat, hitam dan merah (warna-warna ini berasal dari batu, tanah dan daun/getah). Lukisan itu bermotif buah, daun, pohon, ikan, udang, binatang berkaki empat dll. dalam dekorasi yang menarik. Kendati teknik pembuatan untuk seluruh Maluku sama, tetapi ada pula perbedaan khas dari tiga wilayah kultural ini. Pada umumnya cara menurun-alihkan pengetahuan dan keterampilan membuat ornamen itu melalui belajar dari pengalaman.

b.    Senjata. Parang, tombak dan anak panah adalah senjata khas orang Maluku sejak dulu. Salawaku adalah perisai kecil yang berfungsi untuk menangkis serangan musuh. Selain itu ada pelbagai jenis parang yang digunakan untuk berperang atau bertani. Pembuatan parang dan salawaku biasanya dikerjakan oleh tukang besi atau kapitan. Keterampilan itu diturunkan melalui pengalaman langsung ketika mereka sedang bekerja.

c.    Perlengkapan musik. Bagi orang Maluku, musik cukup berperanan penting dalam kehidupannya. Dalam kegiatan gotong-royong, upacara adat dan lain-lain, biasanya lagu-lagu yang dinamis, penuh semangat diiringi tabuhan tifa. Cukup banyak perlengkapan musik tradisional yang berasal dari Maluku. Semua peralatan itu dikerjakan oleh orang-orang terlatih yang pengetahuannya diperoleh dari pengalaman.

d.   Perlengkapan tenun. Proses mengerjakan kain tenun membutuhkan waktu cukup lama, tergantung dari besar-kecilnya kain, selain keadaan cuaca, dan pewarnaan. Belum lagi mengerjakan "Nasle" (alat untuk mengeluarkan biji kapas), "wuhure" (semacam busur panah untuk melembutkan kapas), "pokrau" (alat memintal benang yang dibuat dari kayu dan bambu) dll. Dengan memperhatikan peralatan dan cara pembuatannya, jelas dibutuhkan keahlian dan keterampilan yang memadai dan halus. Semua perlengkapan dan proses kerja mereka yang terlatih dan ahli berdasarkan ragam ilmu pada umumnya dikuasai secara lisan dan dipraktikkan di lingkungan keluarga dan masyarakat.

 

  Dari berbagai jenis, pengetahuan dan keterampilan yang sudah dikenal dan dimiliki, serta proses pengalihan tampak pendidikan tradisional mencakupi tiga kategori isi pokok pendidikan, yaitu “nilai-nilai (seni atau estetika, sosial, moral, religius, dsb. (afektif), pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik).

Pertanyaan reflektif kita: dari mana nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan itu diperoleh? Apakah semua itu merupakan hasil karya-cipta dan milik asli orang di Maluku Barat Daya? Jawabannya kurang lebih mirip dengan Saudara-saudara di Tanah Batak, karena:

     Bisa saja semua itu dibawa oleh para leluhur dari tempat asal mereka, atau lewat kontak dengan pihak-pihak tertentu. Kemungkinan, dari situ mereka memadukannya dengan unsur-unsur setempat dan dijadikan milik asli mereka sendiri. Jadi melalui proses perkembangan lokal yang khas, menurut pertumbuhannya yang mandiri, orang Maluku berhasil membangun sistem nilai, pengetahuan dan keterampilan sendiri, sekaligus membentuk jati diri (identitas) sebagai manusia Maluku.

     Kesediaan dan keberhasilan orang Maluku menyerap pengaruh luar dalam upaya mengembangkan milik dan identitas sendiri sekaligus membuktikan, bahwa orang Maluku cukup bersikap terbuka terhadap pengaruh dan sumbangan pihak luar, apalagi kalau pengaruh atau sumbangan itu dinilai bermanfaat bagi masyarakat. Pendek kata, berdasarkan keterbukaan dan keluwesan atas pengaruh luar, dan berdasarkan kemampuan mengolah semua itu sehingga menjadi milik sendiri, orang Maluku berhasil mempertahankan ke-maluku-annya sekaligus me-maluku-kan lingkungannya. Sikap terbuka dan luwes ini, serta kemampuan mengolah unsur-unsur dari luar agar menjadi milik sendiri, kelak sangat berperan dalam rangka perjumpaan orang Maluku dengan NederlandschZendelinggenootschap (NZG) maupun dengan pemerintah kolonial Belanda yang membawa nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan baru bagi mereka. Proses penerimaan dan pengolahan unsur-unsur baru dari luar itu juga tercakup dalam proses pendidikan tradisional Maluku yang bercorak "social-informal" dan "in action" itu, karena para tenaga profesional yang telah disebutkan, termasuk dalam lingkungan tokoh-tokoh pengembang "local genius" itu.

 

Berdasarkan gambaran pendidikan tradisional di atas, dapat dikatakan bahwa sebelum orang Maluku berkenalan dengan pendidikan Barat, mereka telah memiliki sistem pendidikan tradisional yang meliputi: (1) sistem nilai (religius, moral, sosial, ekonomi, politik, dll); (2) wadah pendidikan berupa aktivitas hidup sehari-hari serta pelbagai upacara tradisional; (3) proses pendidikan berupa penurun-alihan nilai, pengetahuan dan keterampilan orang tua kepada anak-anaknya; (4) pelaksana pendidikan seperti orang tua dan para tenaga profesional agar bisa menjadi sama seperti orang-tuanya atau menjadi warga masyarakat tradisional yang sejati.

Dalam hal-hal tertentu yang mesti dipandang sebagai khas milik orang Maluku, ternyata telah berpadu dengan unsur-unsur baru dan ada yang diterima, kemudian dijadikan milik. Kenyataan demikian menyiratkan bahwa orang Maluku bersikap terbuka terhadap hal-hal yang dipandang tidak merugikan diri dan masyarakatnya. Jadi, seperti suku-suku bangsa lain, kebudayaan orang Maluku menyatu dengan keyakinan “religius”-nya. Hal demikian kelak membantu mereka dalam menerima nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan yang dibawa oleh NZG yang ditandai antara lain dengan banyaknya permintaan penduduk pribumi untuk dibuka sekolah di kampung-kampung.

 

PENDIDIKAN FORMAL

Setelah Belanda menaklukkan Portugis, berdatangan secara bergelombang dari Belanda pendeta atau dominee (disingkat: Ds.), proponent (kandidat pendeta) dan ziekentrooster (pelayan orang sakit) dengan misi utama membina kerohanian para pegawai Perusahaan Dagang Belanda Verenigde Oost-Indie Compagnie (VOC).

         Sadar pada panggilan Ilahi, mereka meninggalkan kaum keluarga, lingkungan dan bangsanya menuju Nusantara yang masih perawan dan misteri. Susul-menyusul datang Ds. J. Stollenbecker, Proponent M. Broecke, Ds. SebastiaanDanckaerts, Ds. HelmichiusHelmichii, Ds. Johannes TheodoruszHeemstede, Ds. Justus Heurnius, dan Ds. Jacobus Vertrecht [Vertrechtius] figur pelayan yang patut dihormati dan dihargai. Tanpa menepis yang lain, Ds. Vertrecht, mampu menerobos pulau-pulau terluar di wilayah di Maluku Tenggara.

         Pada dirinya tercermin konsep murid dalam arti pupil yang menekankan relasi murid – guru hingga menjadi pemimpin (future leader), dan murid dalam arti disciple untuk mencapai formasi spiritualitas yang dapat mengubah pikiran, karakter, relasi, kebiasaan, dan pengaruh. Karena berprestasi, setia, serius berkerja, berani, Ds. Vertrecht diskenariokan dalam strategi penginjilan yang luas di Maluku Tenggara.

         Dalam strategi itu, Ds. Vertrecht yang pernah di Ambon dimutasikan ke Banda agar menjangkau wilayah-wilayah yang jauh di bagian Tenggara Maluku. Ds. Vertrecht ditempatkan di Neira, sebagai pusat kekristenan untuk masyarakat di Pulau-pulau Terdepan di wilayah Maluku Tenggara.Penempatan Ds. Vertrecht di Neira berkaitan dengan misi khusus menyebarkan Injil Yesus Kristus kepada jemaat di Banda, dan di Maluku Tenggara yang dimulainya pada tahun 1646/8. Strategi itu dipahami betul oleh Klasis Walcheren (Classis Walcheren) sesuai isi korespondensi Majelis Gereja Banda dengan Klasis Walcheren di Belanda. Korespondensi antara Majelis Gereja di Banda dan Majelis Gereja di Batavia (Banda Neira 9 Agustus 1646) menyungguhkan savari pekabaran Injil Vertrecht ke kepulauan Aru, Tanimbar, Dammar.

         Sampai di sini rekam jejak Ds. Vertrecht. Hampir satu dekade di Banda, kemudian diutus ke Taiwan pada tahun 1648 hingga Januari 1651.Beliau perintis jalan panjang menuju Pulau-pulau Terdepan dalam rangka Penginjilan dan Pengadaban. Di abad ke-19 barulah muncul Joseph Kam yang kemudian dikenal sebagai Rasul Maluku.

            Tentang sekolah atau pendidikan, digambarkan secara sepintas saja.Pada tahun 1764 (Abad ke-18), tercatat sejumlah literatur yang digunakan di sekolah dan gereja: 25 Maleytschebijberls in quarto, 10 idem Psalmboeken, 10 idem octavo, 100 idem catechismussen, 50 vraagboekjes door Francois Caron, 10 exemplaren van Francois Caron Tsjereminacan pegang agamma, 50 Nederduitschecatechismussen, 20 Beginsels der leere Christi door Sibersma, 50 A.B.C boekjes.

            Gambaran tentang keadaan dan kondisi masyarakat religius di MBD tampak dalam surat Majelis Gereja Banda kepada Majelis Gereja di Batavia anno 1764.

 

Lmm = leedematen mans; lmv = leedematenvrouwen; gem = gemeenechristenenmnl; gev = gemeenechristenenvrouwen; sk = kinders in school; kbs = kinderenbuyten school; ongm = ongedoopte mans; ongv = ongedooptevrouwen; ongl = ongedooptekinderen; gedk = gedooptekinderen; soms = somma.

 

ZW-Eilanden

Plaats

lmm

lmv

gem

gev

sk

kbs

ongm

ongv

ongb

ongk

Som

Wetter

-

-

29

30

-

-

-

-

6

45

110

Kisser

-

-

104

121

30

36

-

-

26

-

317

Lethy Saray

-

-

37

50

45

18

6

5

18

-

179

Lethy Serwaroe

-

-

109

74

-

-

2

5

24

56

270

Moa

-

-

54

53

41

19

3

2

30

-

202

Babber

-

-

47

48

30

30

1

2

15

-

173

Damme

-

-

72

100

44

-

1

3

23

-

243

Roma

-

-

7

7

-

-

-

-

9

20

43

Sermatten

-

-

6

-

-

-

-

-

-

-

6

Loeang

-

-

1

-

-

-

-

-

-

-

1

Sumber:    Brief van de Kerkenraad van Banda aan de Kerkenraad van Batavia, Banda Neira, 11 September 1764; ANRI, ArchiefKerkenraad Batavia 80, fol. 145-148, 171.

            

Posisi ini mengalami perkembangan pada tahun 1783 seperti tampak pada tabel di bawah.

ZW-Eilanden

Plaats

lmm

lmv

gem

gev

sk

kbs

ongm

ongv

ongb

ongk

Som

Kisser

1

1

114

119

125

-

 

 

100

40

500

Roma

1

-

12

15

19

-

 

 

10

4

61

Wetter

-

-

18

23

25

-

 

 

28

-

94

Lethy

1

1

141

118

122

-

 

 

61

-

444

Moa

1

-

203

67

32

-

 

 

103

-

406

Laikor

-

-

7

-

-

-

 

 

19

-

26

Louang

-

-

19

13

11

-

 

 

29

-

72

Sermaten

-

-

68

29

15

-

 

 

73

-

186

Babber

1

1

82

129

58

-

 

 

69

-

340

Damme

-

-

45

53

58

-

 

 

72

-

228

Sumber:     Brief van de Kerkenraad van Banda aan de Kerkenraad van Batavia, Banda Neira, 31Augustus 1783; ANRI, ArchiefKerkenraad Batavia 141, fol. 219-222.

 

         Menjelang akhir abad ke-18, kekristenan di Ambon dan sekitarnya sangat memprihatinkan; tidak lagi ditempatkan pendeta yang berfungsi sebagai guru sehingga aktivitas gerejawi dan sekolah macet total. Dalam keadaan demikian Residen William Byam Martin berusaha memperbaiki kehidupan keagamaan dan kesusilaan umat Kristen. Ia berusaha mengangkat harkat dan martabat anak-anak pribumi Ambon [Maluku] dari kebodohan dan ketidaktahuan. Justru itu ia berencana membangun sekolah pusat di Ambon.

         Ketika Kam tiba di Ambon pada tahun 1815, hubungannya dengan Residen William Byam Martin yang saleh dan menaruh minat pada sekolah dan agama cukup baik. Pada 14 Juni 1819 Kam diizinkan mendirikan sekolah gereja berpola seminari “Lembaga Pendidikan Pembantu-pembantu yang Terampil”. Di sekolah ini sebagian isi pelajaran terfokus pada pengetahuan Alkitab, ajaran Kristen, musik dan nyanyian gerejawi.

         Sampai tahun 1834 mulai tampak hasil penginjilan karena hampir setiap negeri Kristen memiliki gedung gereja, sekolah dan guru yang menjalankan tugas rangkap. Di Ambon terdapat 67 sekolah, 64 guru (4 dari sekolah NZG), 3 opperschoolmeesters (guru kepala di tiap pulau (“Guruw Besar”) dan 4 omloopendeschoolmeester (calon guru yang belum ditempatkan). Jumlah murid mencapai ± 7.000 orang. Para alumni yang terbatas jumlahnya itu kelak bertambah dan berkarya di seluruh kepulauan Maluku. Tamatan dari lembaga pendidikan itu bekerja di Maluku (lingkungan Gereja Protestan Maluku), termasuk di Pulau-pulau Terdepan di MBD.

         Enklaar menyadari betapa terbatas informasi tentang pulau-pulau di Selatan Daya dan Tenggara yang baru diperoleh pada abad ke-19 (tahun 1825). 

Dua tahun sebelumnya, Maret 1823, Joseph Kam melakukan Savari pekabaran Injil perdana di bagian Tenggara Maluku dan pulau-pulau Barat Daya seperti Wetar, Kisar, Leti, Moa, Roma, Dama[e]r (1825), Lakor, Luang, Sermata, Babar, Tanimbar; termasuk ke pulau-pulau antara Timor-Alor. Selama 7 bulan Kam melayani ibadah, khotbah, Baptisan, Perjamuan Kudus. Dalam perjalanan itu, ia membawa Alkitab dan buku-buku berisi pokok ajaran Kristen. Medan pelayanan yang diarungi mendorongnya menjadi pemilik kapal-layar (schoener) di Bandar Ambon. Kam memiliki wawasan kelautan selama lebih kurang satu dekade berada di Maluku.

         Selain Kam, patut dicatat peran Gubernur Merkus (1822-1828) terhadap masyarakat di bagian Timur, khususnya di Maluku, kendati bermuatan politis. Merkus mengirim kapal perang “Dourga” pimpinan Letnan D.H. Kolff ke Pulau-pulau Tenggara dan Barat Daya untuk menjajaki keadaan politis, sosial, religius, dan militer dalam rangka memulihkan kekuasaan Belanda di kepulauan tersebut yang sejak kemunduran VOC tidak lagi mendapat perhatian. Bagi Merkus, penanaman dan perluasan agama Kristen identik dengan menciptakan penduduk yang setia pada pemerintah Hindia-Belanda. Justru itu, tidak tepat menempatkan utusan Injil asal Eropa karena yang telah berkeluarga sulit menetap di daerah terpencil. Strategi jitu adalah menambah jumlah guru pribumi. Maka pada tahun 1825 tercatat tujuh guru bekerja di Kepulauan Aru, masing-masing seorang di Kisar, Banda, Damer, Letti. Kemudian ditambahkan seorang guru di Aru, dua di Leti, masing-masing seorang di Moa, Wetar, Lakor, Luang, Sermata, Babar, dan seorang atau dua guru di kepulauan Tanimbar. Dari perspektif penginjilan, Kam turut mendorong pemerintah sehingga pada tahun 1830 ditempatkan guru P. Huwae di Babar dan guru C. Tanasale di Sermata.

         Pada awal abad ke-20, tidak banyak diperoleh informasi yang dapat membantu penggambaran keadaan di Maluku Tenggara; Kecuali dari beberapa laporan Residen Ambon kepada Gubernur Jenderal Heutsz. Perkembangan kekristenan, kendati masih banyak yang “kafir” di Kepulauan Tanimbar, Babar, Kei, dan Aru, sehingga di beberapa tempat perlu ditempatkan guru untuk mendidik anak-anak daerah.

         Sedangkan pengkristenan berlangsung di Luang, Barat Daya, Aru, Kei dan Tanimbar. Nota Ds. T.J. van Oostrom Soede (15 Agustus 1926) dalam kedudukan sebagai Pendeta Ketua Konferensi para Pendeta di Ambon, melaporkan tentang organisasi, zending dan Gereja Protestan di residen Ambon dan bagian-bagian tertentu dari Ternate. Untuk Maluku Tenggara, sangat dibutuhkan Pendeta-pendeta Bantu, seperti Tual di kepulauan Kei dan Aru, Utara Yamdena, Larat, Fordata, Moloe dst. Saumlaki butuh Pendeta Bantu di bagian Selatan Yamdena, Sera, dan Selaru.

         Patut disebutkan bahwa setelah Ds. Vertrecht meninggalkan Nusantara, perkembangan kekristenan selama abad ke-18 seakan turut terbawa bayu. Informasi lebih jauh, baru diketahui dari satu dekade pertama abad ke-19 dengan tampilnya Joseph Kam, utusan NZG di pentas sejarah kekristenan di Maluku. Perubahan itu terjadi, tentu dikarenakan Tuhan yang memberikan “pertumbuhan”. Yang lain hanya “menanam” dan “menyiram” (bdk. 1Kor. 3:6 “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan”). Teks suci ini pernah digunakan gereja sejak abad ke-17 namun digunakan Joseph Kam pada abad ke-19, dan selanjutnya dijadikan moto Gereja Protestan Maluku.

            Saya akhiri presentasi ini dengan mengutip Santono Kartodirjo. Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang panjang dan berliku-liku. Sulit dibayangkan, ratusan pulau kecil besar yang bertebaran antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dapat dihimpun dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sulit dibayangkan, ratusan suku-bangsa; entah Cina entah Arab, penduduk pribumi atau pendatang dari belahan Nusantara yang memiliki bahasa, adat-istiadat serta agama yang beragam dapat bersatu di bawah satu panji, yakni: Indonesia.Menurutnya, “Sejarah Indonesia dapat dipandang sebagai proses perkembangan yang secara lambat dan kontinyu mewujudkan integrasi.... Salah satu faktor pendorong integrasi itu tidak lain dari kehadiran bangsa asing bersamaan dengan penyebaran agama yang dibawa serta, seperti Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Proses itu menimbulkan dinamika seperti pembentukan sistem dan struktur sosial, politik dan kultur baru…. Agama-agama tersebut telah menciptakan solidaritas sehingga membentuk suatu integrasi. Dari perspektif itu, kehadiran bangsa Barat telah mendorong ke arah integrasi itu”.

            Terima kasih namori

            KALWEDO!

 

 

Referensi

Arsip

Archief Kerkenraad Batavia 80, fol. 145-148, 171; ARvdZ 18/24; ANRI Amb. 1541; ARvdZ S. Kam 1821.

ARA, Memories van Overgave, Ministerie van Kolonien, 313. Gedeeltelijk gepubliceerd in TBB, 49 (1916) 265-272.

Mr. 329/1907. Vb. 24 April 1908, No. 38; Mr. 804/1907. Vb. 24 April 1908 No. 38; Mr. 1284/1908. Vb. 9 Maart 1909 No. 50; No. 3949. Extract. Mr. 1413/1908. Vb. 17 Juni 1909 No. 41; No. 4712. Exh. 17 December 1912 No. 2. Mail 4/10-’12-1184/31. ARA, Minkol, doss. A. 7271; No. 3160. Mr. 2082/1914. Vb. 21 Dec. 1914 No. 28. 190, 398.

Mr. 2336/1926, 1601/1927. Vb. 11 April 1927 No. 1. ARA, Memories van Overgave, Ministerie van Koloniën, 329-330.

Brief van de Kerkenraad van Banda aan de Kerkenraad van Batavia. Banda, 28 Agustus 1643.

Fragment uit een Rapport over de Toestand van het Christendom in Oost-Indie door ds. Justus Heurnius. Z.p., 1639.

Brief van de kerkenraad van Banda aan de Kerkenraad van Batavi, tertanggal Banda Neira, 9 Agustus 1646.

Brief van de Kerkenraad van Banda aan de Kerkenraad van Batavia, Banda Neira, 11 September 1764; ANRI,

 

Buku

Alyona Cornelis A, Johan R. Saimima, Lentjie Bakarbessy/R, Herman R. Tupan. 2018. Menenun Injil di Kepulauan Tanimbar – Sejarah Perkembangan Protestantisme di Tanimbar Selatan. Ambarawa – Jawa Tengah: UKIM-Press.

Anonimus, Fils. Kebudayaan/FMO-91/4.

Aritonang Jan Sihar. 1988. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Bakker J.W.M. 1990. Filsafat Kebudayaan - Sebuah PengantarYogyakarta: Penerbit Kanisius, B.P.K. Gunung Mulia, 19904

Budianto Irmayanti M. 2003. Sejarah dan Cultural Studies, yang dipresentasikan dalam seminar Religiositas Masyarakat Perkotaan di Kampus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok 16 Oktober 2003.

Boone A.Th. 1997. Bekering en Beschaving – De Agogische van het Nederlandsch Zendelinggenootschap in Oost-Jawa (1840-1865)Nederland: Boekencentrum.

Brugmans I.J. 1938. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indië. Groningen-Batavia: J. B. Wolters’ Uitgevers-Maatschap-pij, N.V.

Darnys Raf (ed). 1992. Pola Pengasuhan Anak secara Tradisional Daerah MalukuJakarta: Depdikbud.

Davidz Wim dan M. Tapilatu. 1995. Gereja Pulau-pulau: Toma Arus, Sibak Ombak, Tegar. Ambon: Percetakan GPM.

De Jong Chr.G.F. 2006. De Protestantse Kerk in de Midden-Molukken 1803-1900. Eerste Deel: 1803-1854. Leiden: KITLV Uitgeverij.

Enklaar I.H. 1963. Joseph Kam – ‘Apostel der Molukken. ’s-Gravenhage: Boekencentrum N.V.

Enklaar I.H. 1980. Joseph Kam – Rasul Maluku. (terjemahan). Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia.

Ferdinandus A.M. 1985. Teknik Perangkap Tradisional di Maluku. Ambon: Museum Siwalima.

GPM. 1984. Oikumene dan Buah-buah Injil di Bumi 1000 Pulau, Ambon: Panitia Penyelenggara Sidang Raya X DGI.

Jobse P. 1997. BronnenBetreffende de Midden-Molukken, 1900-1942. Deel 1. Den Haag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis. 

Kartadarmadja M. Soenjata (ed.). 1994. Sejarah Pendidikan Daerah Maluku. Ambon: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mirpey Wilhelmus. 1998. Panaur –Suatu Studi Teologis Terhadap Sistem Pemerintahan Tradisional di Desa Tutukey dan Implikasinya, Skripsi. Ambon: Fakultas Filsafat UKIM.

Museum Siwalima. 1989. Guide Book Indonesia - English editionAmbon: Proyek Pembinaan Permuseuman Maluku.

Museum Negeri Siwalima. 1981/1982. Gerabah Lokal SiwalimaAmbon: Proyek Pengembangan Permuseuman Maluku.

Kartodirdjo Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; Dari Emporium Sampai Imperium. Jilid 1. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Kobong Th. 1989. Evangelium und Tongkonan, Hamburg: Missionsakademie an der UniversitAt Hamburg.

Republik Indonesia 2009. Pulau-pulau Terdepan Wilayah Perbatasan Indonesia – Kontrak Perjanjian Wilayah Perbatasan Republik Indonesia, Jilid IV. Jakarta: ANRI.

Tjandrasasmita Uka. 2009. Arkeologi Islam Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Exterme-Orient dan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, Desember 2009.

Niemeijer H.E., Th. Van den End. 2015. Bronnen Betreffende Kerk en School in de Gouvernmenten Ambon, Ternate en Banda ten Tijde van de Verenigde Oost-Indische Compagnie 1605-1791Deel I, Gemeente Amboina. Band 1 1605-1690. Den Haag: Huygens ING (KNAW).

Niemeijer H.E., Th. Van den End. 2015. Bronnen Betreffende Kerk en School in de Gouvernmenten Ambon, Ternate en Banda ten Tijde van de Verenigde Oost-Indische Compagnie 1605-1791, Deel III Gemeente Banda 1625-1790, Den Haag: Huygens ING (KNAW).

Van Fraassen Ch.F. 1997. Bronnen Betreffende de Midden-Molukken, 1900-1942Deel 2. Den Haag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis.

____________

 

 

Geen opmerkingen:

Een reactie posten

Sambutan Rektor

  SAMBUTAN REKTOR UKIM   PADA ACARA PENANDATANGANAN KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN UNIVERSITAS KRIS...