zondag 13 april 2025

Sekolah Minggu

 

 

SEKOLAH MINGGU TUNAS PEKABARAN INJIL

GEREJA PROTESTAN MALUKU

 

Cornelis Adolf Alyona

Disampaikan pada acara “Podcast Beta Anak GPM”, Episode 3,

bertempat di Media Center GPM,

pada hari Selasa, 15 Oktober 2024, pukul 14:00 WIT.

d

 

Sejarah Sekolah Minggu dimulai pada abad ke-18 karena berkaitan dengan Revolusi Industri di Inggris. Jumlah petani kian berkurang di desa gegara mereka harus menuju kota untuk bekerja, mengais hidup di pabrik-pabrik kendati dengan gaji sangat rendah. Di satu sisi, kemakmuran bertambah dan diperjuangkan, namun di sisi lain kaum buruh semakin terpuruk dan melarat.

Dampak revolusi industri mendorong Robert Raikes (1735-1811) – wartawan dan penerbit – mendirikan Sekolah Minggu di kota Clucester, Inggris. Di sekolah minggu anak-anak dididik, membaca Alkitab agar mengerti firman Tuhan. Ratu Carlotte dan Raja George sangat berterima kasih kepadanya karena Sekolah Minggu yang didirikan Raikes berdampak positif demi perkembangan Sekolah Minggu di seluruh Inggris. Ketika Raikes meninggal dunia (1811), tugunya didirikan sebagai penghormatan dan ia digelar sebagai “Bapak Sekolah Minggu”.

Dari Inggris, jejak Raikes berkembang sampai di Amerika pada tahun 1824 dengan dibentuknya “The Sunday Schools Association” (Kumpulan Sekolah Minggu). Di Jerman, Sekolah Minggu berkembang atas usaha Wilhelm Broeckelman dan Albert Woodreff. Di Negeri Belanda Abraham Capadose mendirikan Sekolah Minggu pada Oktober 1836. Dua abad pertama pada masa pendudukan Belanda (VOC), nyaris ditemukan aktivitas Sekolah Minggu. Yang jelas, dari Belanda Sekolah Minggu dibawa dan berkembang di Hindia Belanda. Hal ini dapat ditelusuri dari sumber-sumber seperti: Laporan Tahunan Gerejawi (Kerkelijke Jaarverslag), Notulen kerkenraadsvergadering (Risalah Rapat Konsistori Jemaat), dll.

  1. Pada abad ke-19, keberadaan dan aktivitas Sekolah Minggu (Zondagsschool) sudah berlangsung di Maluku. Menurut data terekam, menjelang akhir abad ke-19 (15 Februari 1899), Pdt. W.J. Boelman atas nama konsistori [Majelis Jemaat] Banda mengirim Laporan Tahunan Gerejawi kepada Pengurus Gereja Protestan di Hindia Belanda di Batavia (kini: Jakarta). Dalam laporan itu disebutkan, Ook dit jaar werd wederom eene drieklassige zondagsschool gehouden, waarvan ruim negentig leerlingen gebruik maakten (Juga pada tahun ini diadakan Sekolah Minggu tiga kelas, yang dihadiri oleh lebih dari sembilan puluh murid).
  1. Hampir satu dekade kemudian, di awal abad ke-20, diperoleh keterangan dari Notulen kerkenraadsvergadering(Banda, 27 November 1908). Pada point 12 disebutkan, Op de informatie naar het bestaan van zondagsschool wordt gewezen op de twee die er bestaan, één voor de Europeesche gemeente, geleid door den predikant, en één voor de Maleische afdeeling, onder leiding van den goeroe. Beiden verkeeren in bloeienden toestand (Informasi tentang Sekolah Minggu, ada dua referensi, satu untuk jemaat Eropa yang dipimpin oleh pendeta, satu untuk jemaat Melayu yang dipimpin oleh guru. Dua badan ini dalam keadaan berkembang).
  1. Risalah pertemuan konsistori (Notulen Kerkenraadsvergadering; Banda, 5 September 1912) disebutkan, “Setelah Ketua bertanya tentang hal lain yang perlu dibahas, Mr. Lans mengatakan bahwa waktu semakin dekat untuk mempersiapkan Natal dengan anak-anak Sekolah Minggu, jika tidak, dia tidak akan di sini pada waktunya (waktu perayaan Natal). Jika demikian, apakah Ketua bersedia bertanggung jawab. Sedangkan dia sudah menyatakan bersedia melakukannya dan minta informasi lebih lanjut tentang apa yang ingin mereka pesan di Belanda. Setelah dibahas, Ketua mengundang Mr. Brantz dan Mr. Lans agar besok membahas masalah ini lebih lanjut di rumah Mr. Brantz. Selain itu, dapat diperiksa berapa banyak anak (Melayu, Belanda) menghadiri Sekolah Minggu, berapa banyak uang yang tersedia untuk merayakan Natal".
  1. Dua tahun kemudian, pendeta di Banda (G.C.A.A. Van den Wijngaard) atas nama Majelis Jemaat Banda (Kerkenraad Banda) menyurati Pengurus Protestantse Kerk in Nederlands-Indië di Batavia (Banda Neira 14 Maart 1914). Van den Wijngaard melaporkan hal-hal seperti tidak ada yang mengabaikan kepentingan gerejawi, distribusi kalender Kristen dalam skala besar, buku Mazmur dalam bahasa Melayu diadopsi dan dibeli secara luas, Alkitab dan tulisan-tulisan keagamaan didistribusikan di antara orang Ambon dan orang Eropa. Sekolah Minggu digantikan dengan “gereja anak-anak” (kinderkerk), dan aksentuasi diberikan pada kehadiran semua anak sehingga setiap hari Minggu pukul 11:00 gedung gereja dipenuhi dengan kehadiran anak-anak dan anggota jemaat dewasa.
  1. Dalam Risalah Pertemuan Konsistori (Notulen Kerkenraadsvergadering) Banda 18 September 1918, dibahas tentang "Apakah Natal akan dirayakan bersama anak-anak; dengan atau tanpa pohon Natal". Mr. Hogendorp sangat bersemangat mendukung perayaan dengan menggunakan pohon Natal, Mr. Saimima berbicara tentang cara Natal dirayakan di Saparua (Apa yang dikatakan Saimima merupakan fakta di Saparua tentang perayaan Natal, apalagi di Ambon. Cuma bukti otentik yang menunjukkan hal itu sulit diperoleh). Selanjutnya, sejauh menyangkut kehadiran anak-anak di Sekolah Minggu, Guru Jemaat dan Ketua melihat perlu dukungan dan kerja sama orang tua. Ketua mengatakan anak-anak yang lebih besar tidak atau datang sangat tidak teratur ke Sekolah Minggu. Pattinama sangat ingin membantu mengajari anak-anak lagu-lagu Natal.
  1. Hulpprediker Banda G.J.H. Le Grand atas nama Majelis Jemaat Banda kepada Pengurus Pusat Protestantse Kerk in Nederlands-Indie di Batavia (Banda Neira 10 April 1919). Pada Bab 3 (Godsdientoefeningen), Butir f, disebutkan: “Persekutuan Pemuda Kristen di Neira masih tetap hidup. Terima kasih untuk dukungan Penatua W.F.G. Pattinama hingga berhasil melatih lagu-lagu Natal yang dinyanyikan pada ibadah Natal di Gereja Belanda, dan di Maleische zondagschool. Selanjutnya, pada Bab 4 (Godsdienstonderwijs dan verdere verzorging der gemeenten), Butir J, disebutkan, “Maleische Zondagsschool di Neira berjumlah 45 anak, di Lonthoir (12 anak), di Rosengain (27 anak), di Djerili (100 anak), di Bomei (74 anak), di Roemdai (131 anak), di Lajeni (60 anak), di Merauke (10 anak). Guru pribumi (inlandsche leeraar) atau Guru Jemaat mengajar di sekolah. Di Hollandse kinderkek di Neira hadir sekitar 55 pengunjung. De hulpprediker adalah voorganger.

 

Pengalaman

Bidang Pekabaran Injil dan TPI

Tidak dapat dipungkiri bahwa Sekolah Minggu telah menjadi kenyataan dalam pelayanan Gereja Protestan di seluruh jemaat kota dan desa. Sampai tahun 1920-an kegiatan Sekolah Minggu telah tersebar di sebagian besar jemaat di daerah pusat dan daerah pinggiran. Gereja Protestan di Hindia-Belanda melaporkan bahwa pada tahun 1928 di kota Ambon terdapat 800 anak Sekolah Minggu berbahasa Melayu dan 354 berbahasa Belanda. Sedangkan di Pulau Ambon Lease terdapat sekitar 10.600 anak. Hal ini terkait pula dengan adanya kurikulum Sekolah Minggu 1935 dan 1937 yang disusun oleh Pendeta Jacob Sapulette, ayah dari Pendeta Dr. H.L. Sapulette.

Dalam perkembangan, Sekolah Minggu dilengkapi dengan Tunas Pekabaran Injil (TPI) sebagai wadah pelengkap untuk pendidikan formal di lingkungan GPM. Paduan dua wadah ini dalam upaya pembinaan dan pendidikan anak-anak dan remaja. Sekolah Minggu merupakan wadah pembinaan dan pendidikan anak dan remaja tentang Firman Allah, TPI merupakan sarana untuk mendidik anak-anak dan remaja belajar berbuat sesuai apa yang dikatakan Alkitab di Sekolah Minggu.

GPM dalam rentang 1950-1960 turut merasakan apa yang disebut dengan penyerahan kedaulatan RI (Desember 1949) sebagai pertanda berakhirnya kekuasaan pemerintah Belanda di Indonesia, sekaligus mendorong gereja-gereja anggota GPI, termasuk GPM, untuk mandiri secara administratif dan finansial. Salah satu bidang di mana GPM menata diri adalah bidang pekabaran Injil yang terindikasi melalui pembentukan Bagian Pekabaran Injil dalam struktur organisasi di tingkat Badan Pekerja Sinode. Bagian pekabaran Injil ini diketuai oleh Pendeta Th. P. Pattiasina, sekaligus menjadi penasihat BPS. Sebelumnya, kegiatan pekabaran Injil ditangani oleh badan pekabaran Injil yang bersifat independen, seperti Eltheto dan Ora et Labora, dan sejak 1954 kegiatan ini ditangani oleh BPS.

Hal baru berikut yang terjadi di bidang ini adalah pembentukan perkumpulan yang anggota-anggotanya terdiri dari anak-anak. Maksud pembentukan itu agar anak-anak dapat dibina menjadi pencinta pekabaran Injil. Pengambil inisiatif untuk hal ini datang dari ibu-ibu yang tergabung dalam Kaum Ibu Kristen bagian Bethel, Jemaat Ambon Kota. Jika Sekolah Minggu lahir dari latar belakang revolusi industri di Inggris, Tunas Pekabaran Injil lahir dari Jemaat GPM BethEl, di Mardika Ambon. Ia lahir dari gagasan sekelompok ibu dalam wadah “Kaum Ibu Kubur Terbuka”. Perkumpulan ini diresmikan oleh Ketua Bagian Pekabaran Injil dengan nama TUNAS PEKABARAN INJIL GEREDJA PROTESTAN MALUKU (disingkat: Tunas P.I. GPM) pada 21 Desember 1956. Sejak itu, wadah yang sama dibentuk di semua jemaat GPM; semua anak Sekolah Minggu otomatis menjadi anggotanya. Wadah ini dikenal dengan nama Sekolah Minggu Tunas Pekabaran Injil (SM-TPI).

 

Tunas Pekabaran Injil:  Wijk Bethel

Sekolah Minggu lahir dari latar belakang revolusi industri di Inggris. Tunas Pekabaran Injil lahir dari Wijk BethEl, Mardika Ambon. Ia lahir dari gagasan sekelompok ibu dalam wadah “Kaum Ibu Kubur Terbuka”. Beberapa saksi mata yang dapat dipercaya informasinya sebagai berikut.


·       Ibu Marjorie Dowongi

TPI adalah gagasan dari sekumpulan ibu-ibu yang tergabung dalam wadah “Kaum Ibu Kubur Terbuka”. Kaum Ibu Kubur Terbuka yang berada di Sektor Tanah Tinggi itu diketuai oleh Ibu Ende Tohatta/Patinussa [Nyonya Pendeta]. Biasanya kumpulan tersebut mengadakan ibadah setiap hari minggu pada jam 5.00 pagi sesuai jadwal. Dalam kumpulan ini biasanya anak-anak turut serta sehingga mereka mulai berpikir untuk membentuk kumpulan anak-anak. Usul mereka itu ditanggapi oleh Bpk. Pdt. Pieter Alfons. Bpk. Alfons bersama istrinya Ibu Christien Alfons mulai mengumpulkan anak-anak di Sektor Tanah Tinggi untuk melaksanakan ibadah pada hari yang ditentukan. Pada 21 Desember 1956, dalam acara Natal Kaum Ibu Kubur Terbuka Sektor Tanah Tinggi di rumah Bpk. Pieter Alfons. Pdt. Th. Pattiasina dihubungi dan diundang untuk memimpin acara Natal sekaligus meresmikan kumpulan anak-anak yang dinamakan Tunas Pekabaran Injil.

Ibadah TPI mulai beraktivitas setiap Minggu sekali secara bergilir di rumah anak-anak. Uang kolekta yang dikumpulkan sebulan sekali diberikan kepada Bidang Pekabaran Injil di Kantor PI GPM. Dalam ibadah, TPI mempergunakan lagu-lagu yang bernada pekabaran Injil, seperti Dua Sahabat Lama, Tahlil, Nyanyian Oktolseya. Sedangkan cerita diangkat dari tokoh-tokoh pekabaran Injil. Bacaan Alkitab saling menunjang dengan cerita tersebut. Hal itu dilakukan atas inisiatif pengasuh karena belum ada bimbingan seperti sekarang. Buku-buku yang digunakan sebagai bahan cerita dalam ibadah TPI a.l. Pembawa Suluh Kristus, Pemberita Injil seperti Toyohiko Kagawa, Ludwieg Nomensen, Alberth Schweizer, Saingli, Marthen Luther, William Carey, Joseph Kam.

Ibadah TPI dilaksanakan untuk semua jenjang usia, berbeda dengan Sekolah Minggu pada masa kini yang jenjang usia telah diatur. Demikian pula dengan kegiatan TPI berbeda dengan kegiatan yang dilakukan di Sekolah Minggu. Misalnya, di Sekolah Minggu diberikan materi penyelidikan Alkitab, namun di TPI materi tersebut tidak ada. Di samping kegiatan yang dilakukan pada ibadah setiap minggu, ada pula kegiatan anak-anak TPI menyongsong hari-hari gerejawi seperti Paskah dengan mencari “telur Paskah”. Kegiatan Paskah dibuat pertama kali oleh TPI. Mencari telur Paskah biasanya dilakukan di Taman Makam Pahlawan Australia-Belanda (ereveld) Tantui (1956-1960). Kegiatan tersebut tidak ada di Sekolah Minggu. Selain mencari telur Paskah, dibuat juga drama Paskah yang dipimpin oleh Ibu Tin Alfons. Pengasuh TPI pertama kali pada waktu itu antara lain:  Ibu Christien Alfons/P [Ibu Tin], Ibu Tet Robijn/Pattinama (Ibu dari Ibu Joice Dowongi), Ibu Sophia Lawalata [Ibu Popi], Ibu Insye Sopaheluwakan/Soselisa.


Ibu Els Tarumaseley

Sesudah RMS, kegiatan-kegiatan gerejawi untuk anak-anak diaktifkan kembali di Wijk BethEl, Jemaat Khusus Ambon Kota. Beberapa kegiatan ketika itu: pertama, Paduan Suara Anak-anak yang disebut kinderkoor dipimpin oleh Nyora Maspaitella/Sahulata [janda]. Ia menampung anak remaja (usia 10-15], anak-anak yang sudah pandai membaca dan membaca not, tanda-tanda lagu. Dari Sektor Tanah Tinggi, kinderkoor kemudian berkembang dan melibatkan anak-anak dari Sektor Mardika dan Sektor Belakang Soya. Kedua, kegiatan khusus untuk anak-anak perempuan yaitu keterampilan tangan seperti bordir, hak, brei yang dipimpin oleh Ibu Nety Haumahu dan Nyora Maspaitella.

Tanggal 21 Desember 1956 kelompok ibadah ini mengadakan Natal di rumah Pdt. Pieter Alfons. Bpk. Thom Pattiasina yang ketika itu menjabat sebagai “Direktur PI” diundang dalam rangka meresmikan kelompok ibadah anak-anak itu, dan dipandang sebagai embrio untuk pekabaran Injil. Untuk itu wadah dimaksud disebut Tunas Pekabaran Injil atau TPI. Pada tahun 1960, dalam Sidang Sinode ditetapkan sebagai Wadah Anak di jemaat-jemaat GPM. Para pengasuh TPI saat itu antara lain: Ibu Tin Alfons, Ibu Robijn Pattinama, Nn. Lientje Tarumaseley [kemudian menjadi Nyonya Barendsz].


·       Ibu Yul Patty/Tarumaseley

TPI dirintis oleh Bpk. P. Alfons. Saat itu beliau adalah Guru Jemaat di samping seorang pendeta; beliau disebut inlands leeraar. TPI dirintis atas ide Kumpulan Ibu-ibu Kubur Terbuka. Ibu-ibu Kubur Terbuka berkeinginan agar anak-anak bisa memiliki kumpulan seperti orang dewasa pun memiliki perkumpulan ibadah. Biasanya aktivitas ibadah kumpulan Kubur Terbuka dilaksanakan setiap hari Minggu jam 5.00 pagi sesuai jadwal. Setelah Nyonya Ende Tohata meninggal, yang menjadi Ketua perkumpulan Kaum Ibu Sinar Sejahtera adalah Ibu Christien Alfons, bendahara adalah Ibu Catherina Leiwakabessy/Mual. Sebelum TPI berlangsung sebenarnya sudah ada Sekolah Minggu. Sekolah Minggu untuk anak-anak berbahasa Belanda dilakukan di sekolah Kristen, seperti Sekolah Kristen Urimessing dan Sekolah Kristen di Belakang Soya. Sekolah Minggu berbahasa Melayu dilakukan di tepat masing-masing.


·       Ibu Leonora Sn. Nanlohy/Snall

TPI dirintis oleh Bpk. P. Alfons bersama istrinya Ibu Christien Alfons/P [Tin]. Pada waktu itu anak-anak dikumpulkan untuk melakukan ibadah TPI dan diajarkan lagu-lagu, baik untuk Paduan Suara maupun yang tidak bergabung dalam Paduan Suara. Lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari Nyanyian Dua Sahabat Lama, lagu yang diajarkan oleh Bpk. P. Alfons berjudul Jangan Takut [DSL. 173], Batu Karang Keluputan [DSL. 129]. Ibadah TPI tidak hanya berlangsung di rumah yang telah ditentukan, tetapi juga di gereja BethEl. Justru itu, Paduan Suara Anak-anak TPI selalu menyanyikan lagu pujian dalam ibadah TPI atau Ibadah Minggu.


·       Dra. Jonavia Syaranamual [Ibu Na]. 

Menurut sepengetahuannya, TPI  dirintis berdasarkan inisiatif Pdt. Emr. Pieter Alfons di Tanah Tinggi. Waktu itu anak-anak TPI sering melakukan berbagai kegiatan seperti membuat kue, belajar hak, renda, sulam yang dipimpin oleh Nyora Alfons Pattinama [Ibu Tin] dan Ibu Et Robijn/Pattinama. Anak-anak TPI membuat Paduan Suara, bermain sandiwara [tonel], bermain Tablo [Opera] dan membuat puisi. Kegiatan-kegiatan ini diikuti dan dianjurkan untuk anak laki-laki dan perempuan; biasanya dilakukan menjelang hari raya-hari gerejawi, seperti Paskah dan Natal. Pada hari Natal, anak-anak disuruh membuat kue, pada hari Paskah anak-anak mencari telur Paskah yang disembunyikan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh pengasuh. Pernah acara telur Paskah dilakukan di Taman Makam Pahlawan Australia-Belanda Tantui dan di pesisir Pantai Martha Fons Poka dalam ibadah anak-anak TPI bermain sandiwara yang berjudul “Kubur Terbuka” dan masing-masing anak harus berlakon sesuai karakter tokoh yang mereka perani. Sedangkan koor anak-anak TPI dilaksanakan di gereja BethEl karena pada waktu itu ibadah TPI tidak hanya dilakukan di rumah-rumah tetapi juga di gereja. Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Paduan Suara diambil dari Kitab Nyanyian Dua Sahabat Lama yang dianjurkan oleh Bpk. P. Alfons.

Kegiatan Marturia, Koinonia dan Diakonia anak-anak TPI juga sudah dilibatkan dalam perkunjungan orang sakit, beribadah bersama, atau ibadah bersama nara pidana. Oleh karena itu anak-anak diajarkan melayani, mandiri dan menjadi pemimpin sejak usia dini. Tempat di mana anak-anak TPI belajar berbagai keterampilan di rumah Mevr. Gugnie yang setelah kembali ke Negeri Belanda, maka di atas tanah tersebut pernah ditempati oleh Dekan Fakultas Teologi UKIM (Pdt. H. Talaway, Pdt. J.R. Saimima), anggota MPH Sinode GPM (Pdt. Lohy, dll.).

Anak-anak TPI selain beribadah setiap minggu, juga diajarkan keterampilan tangan dan kegiatan TPI lainnya. Biasanya yang dilakukan anak-anak yakni Koinonia (ibadah bersama) dengan sektor lain di BethEl, jemaat lain. Misalnya, Koinonia TPI di jemaat GPM Seri melalui jalan gunung, batu karang (Mahia-Seri), dan cerita-cerita pengalaman para pendeta ke negeri-negeri ”kafir”. Dengan cara demikian, anak-anak TPI diajarkan tentang betapa sengsara dan sulitnya mengabarkan Injil seperti yang dikerjakan pekabar Injil tempo dulu. Lagu-lagu yang digunakan dalam ibadah TPI adalah Dua Sahabat Lama, Nyanyian Oktoselya, dll., sedangkan bahan cerita Alkitab dan sejarah para pekabar Injil (para pembawa suluh Kristus), dan sebagai contohnya diangkat dari kehidupan sehari-hari. Anak-anak TPI waktu dulu sangat taat kepada pengasuh, karena pengasuh dianggap sebagai guru yang disanjung dan diteladani. Justru itu ibadah TPI diikuti oleh anak-anak kecil sampai pada usia remaja, tanpa pembagian menurut jenjang usia seperti sekarang. Pengasuh pada saat itu antara lain: Ibu Sophia Lawalatta, Ibu Christien Alfons/Pattinama, Ibu Tet Robijn/Pattinama”.

 

 

Referensi

Arsip

AKB 399

AKB 400

AKB 401

Verslag der Protestantsche Kerk van Nederlandsch-Indië in het Ressort Gouvernement der Molukken over het jaar 1928. Batavia: Landsdrukkerij-Weltevreden, 1929.

 

Buku

Lewier F.C. Asal-usul dan Hubungan Sekolah Minggu dengan Tunas Pekabaran Injil di Jemaat GPM Ambon. N.y., n.d.

Maspaitella Cootje G.C. 2003. Sejarah Tunas Pekabaran Injil di Gereja Protestan Maluku – Suatu Kajian Historis dan Implikasinya(Skripsi). Ambon: Fakultas Filsafat UKIM.

Robert R. Boehlke. 1997. Sejarah Perkembangan Pemikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen dari Yohanes A. sampai Perkembangan PAK di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Tapilatu M. 1994. Sejarah Gereja Protestan Maluku 1935-1980 – Suatu Tinjauan Historis Kritis. Jakarta: STT Jakarta. 

Van Selm M. 2003. De Protestantse Kerk op de Banda-eilanden 1795-1923. Kampen: Theologische Universiteit van de Gereformeerde Kerken in Nederland, Vrijdag, 21 Februari 2003.

 

Wawancara

Hasil wawancara Cootje G.C. Maspaitella dengan:

Ibu Marjorie Dowongi di Kantor Sinode GPM pada hari Jumat, 26 Juli 2002, jam 11.30 WIT.

Pdt. Pieter Alfons, seorang keluaran Stovil. Pensiunan dari jemaat Elpaputih (jemaat terakhir yang dipegangnya).

Ibu Els Tarumaseley (Dosen Fakultas Filsafat UKIM) di Terminal Mangga Dua Ambon, pada hari Sabtu, 27 Juli 2002, jam 13.00 WIT.

Ibu Yul Patty/Tarumaseley di kediamannya di Tanah Tinggi, Rabu 31 Juli 2002, jam 11.30 WIT.

Ibu Leonora Nanlohy di kediamannya di Amahusu, Minggu 11 Agustus 2002, jam 20.00 WIT.

Ibu Jonavia Syaranamual di kediamannya di Tanah Tinggi, Selasa 27 Agustus 2002, jam 7.30 WIT.

____________

 

Geen opmerkingen:

Een reactie posten

Sambutan Rektor

  SAMBUTAN REKTOR UKIM   PADA ACARA PENANDATANGANAN KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN UNIVERSITAS KRIS...