maandag 14 april 2025

Klasis Kota

 

SIDANG KE-49 KLASIS GPM KOTA AMBON

Minggu, 23 Februari 2025, Gedung Gereja Bethania, Jam 8.00 WIT

 

Tema

BERITAKANLAH TAHUN RAHMAT TUHAN TELAH DATANG

DAN KERJAKANLAH KESELAMATANMU

 

Sub Tema

TEGUHLAH SEBAGAI GEREJA YANG PROFETIK

UNTUK TERUS BERBUAH BAGI KEHIDUPAN BERSAMA

 

Kisah Para Rasul 14:21-28

Tema Bulanan

Bertumbuhlah sebagai Gereja yang Teguh

Tema Minggu

Bertumbuh dalam Ketekunan

 

 

Saudaraku, dan peserta Sidang ke-49 Klasis GPM Kota Ambon yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus.


Mengumpulkan orang dalam jumlah banyak, ramai dan meriah dapat dilakukan dengan menyediakan berbagai hal menarik dan menyenangkan; artis, pengkhotbah populer dapat didatangkan untuk “menyukseskan”. Keberhasilan seperti itu masih sering dijadikan tolok ukur berdasarkan jumlah (kuantitas). Dalam konteks gereja, khususnya Sidang ke-49 Klasis GPM Kota Ambon, ukuran keberhasilan tidak hanya pada kuantitas, tetapi kualitas. Kualitas dimaksud perlu dihadapkan dengan mempertanyakan “sejauh mana gereja (klasis) dan jemaat-jemaat menjalankan fungsi profetiknya sebagai tempat “bertumbuh dalam ketekunan” di wilayah pelayanan masing-masing sehingga semakin dewasa dalam iman, peduli terhadap sesama dan lingkungan, peka terhadap berbagai fenomena yang sementara melanda namun menentukan hidup mati umat Tuhan di Kota ini. Produk persidangan ini yang antara lain membuat gereja semakin berperan sebagai mitra Allah untuk menghadirkan “Rahmat Tuhan” di pelbagai bidang hidup (ekonomi, sosial, politik, dst.) dalam gereja dan masyarakat.

Tantangan dan harapan ini mengingatkan kita pada Barnabas yang pernah bertemu Paulus. Pengalaman mereka dapat dijadikan cermin untuk kita pada masa kini, karena seyogianya Allah yang bertindak di balik semua perjalanan dan seluruh kerja mereka. Ini yang saya sebut “sejarah”, tetapi bukan dalam arti historie (Bhs. Bld, Jrm: menekankan fakta), tetapi “Geschiedenis” (Bld) atau “Geschichte” (Jrm) yang lebih memberikan aksentuasi pada “nilai”. Kita yang hadir di gedung gereja ini secara faktual disebut historie, tetapi ketika dikatakan bahwa kehadiran kita pada persidangan ini karena campur tangan Tuhan, itu Geschiedenis. Semua yang dikerjakan, dialami karena diimani ada campur tangan Tuhan disebut Geschiedenis. Semua kisah dalam Alkitab adalah Geschiedenis, karena Tuhan berperan di balik semua peristiwa yang telah lama terjadi.

Sadarkah kita tentang Tuhan yang sama itu pun hadir dan berperan bersama kita dalam persidangan ini? Bukankah setiap tahun klasis dan jemaat-jemaat mengalami pertambahan angka kelahiran, baptisan, sidi, dan pernikahan secara kuantitas? Tetapi pertambahan itu tidak serta-merta berarti telah terjadi pertumbuhan kualitas menjadi pribadi yang matang, dewasa dan sungguh kristiani. Dan, tidakkah hambatan dalam pertumbuhan gereja ini tidak terletak pada aspek di luar diri, tetapi terutama di dalam diri tiap orang, jemaat-jemaat dan klasis? Sikap merasa kecil, frustrasi, fatalis terhadap perkembangan dan tantangan dunia dewasa ini dapat mereduksi daya, potensi SDM dan menggoyahkan keyakinan kita. Itu sebabnya kita perlu keluar dari jerat sindrom tersebut; sikap-sikap pesimis sedemikian mesti di-retouch, dijamah oleh Roh Tuhan agar kita tetap memiliki spirit dan exist seperti umat Kristen perdana. 

Dari sejarah kekristenan awal, diketahui bahwa demi mempertahankan eksistensi dari pemusnahan para pengikut Kristus setelah martir Stefanus, tidak sedikit dari mereka meninggalkan Yerusalem menuju Fenesia di Utara, malah ke arah lebih utara lagi yaitu Antiokhia, ibu kota Siria yang kala itu luput dari jajahan Romawi.

         Dalam perkembangan, berita tentang Anthiokia itu sampai di persidangan jemaat di Yerusalem. Persidangan gerejawi kemudian mengutus Barnabas yang berkarakter baik, beriman, selalu mengandalkan Roh Kudus (Kis. 11:24) untuk misi khusus. Pribadinya yang luwes, tidak kaku terhadap hukum dan ketetapan, lembut hati, tidak offensive, menerima kelebihan dan kekurangan setiap orang “percaya baru”. Terhadap mereka ia gembalakan, membesarkan hati, memberi motivasi, wejangan dan selalu mengingatkan agar setia. Di sini tidak dikenal pola pekabaran Injil “pergi, masuk, pelan-pelan, tetapi mantap” semisal “ragi”. Pola yang digunakan adalah menabur kebaikan, berlaku santun dan rendah hati, sehingga banyak orang dari berbagai kalangan menjadi percaya; Ia tidak arogan dan bermental superioritas triumphalistik.

         Kendati sudah dipandang baik, ternyata Barnabas tidak menyoal tentang misi, namun tindak lanjutnya (followup). Dibutuhkan orang yang tepat untuk menggembalakan jemaat di Antiokhia, kota terbesar ketiga setelah Roma dan Alexandria. Tantangan konteks pelayanan di wilayah metropolitan itu mengingatkan Barnabas pada Paulus yang sudah sembilan tahun tidak dijumpainya. Menurutnya, Paulus orang yang tepat; cocok untuk konteks jemaat Antiokhia. Kendati berlatar belakang Yahudi, Paulus dinilai mampu membangun relasi dengan orang non-Yahudi, memiliki teologi (ajaran) yang jelas, pengalaman iman yang nyata; pemberani dan argumentator ulung. Tepatlah kata pepatah, “A friend in need is a friend indeed” (“Seorang sahabat pada masa kekurangan adalah seorang sahabat sejati”). Tantangan konteks metropolitan Antiokhia merupakan ujian untuk mengetahui kualitas persahabatan mereka. Kualitas persekutuan jemaat pun tidak bisa dilihat dari banyaknya orang yang hadir menikmati suguhan dan berjuang kala diterpa berbagai kesulitan.

Pembacaan Alkitab hari ini (Kis. 14:21-28) berkisah tentang dua hamba Tuhan melakukan savari pekabaran Injil di jemaat-jemaat, dan akhirnya kembali dan menghimpun orang Kristen di Antiokhia. Sejatinya Barnabas dan Paulus mengisahkan tentang Allah yang bertindak dan terlibat di seluruh perjalanan dan pekerjaan mereka (Geschiedenis). Demikian pula tentang kuatnya keterikatan, kekompakan, kerja sama sebagai pelayan, serta keterikatan spiritual dan tanggung jawab terhadap jemaat yang telah terbentuk. Makanya jemaat Antiokhia semakin maju, suasana persaudaraan bertumbuh, eksistensi komunitas pengikut Kristus menjadi kokoh (ay. 21-22). Jemaat disadarkan tentang kesulitan dan penderitaan yang mesti dihadapi dengan mengandalkan Kristus. Warga jemaat saling menguatkan karena manusia umumnya cenderung rapuh menghadapi atau diterpa kesulitan dan penderitaan. Pemimpin dan kepemimpinan gembala sangat dibutuhkan sehingga diangkat para penatua agar berfungsi sebagai pengawas, gembala, uskup, atau pendeta; mereka itu ditopang dengan doa dan puasa, kemudian diserahkan kepada Tuhan (ay. 23-25). Organisasi dan pengorganisasian merupakan aspek penting demi pertumbuhan jemaat. Tuhan selalu dilibatkan; mereka tidak lebih dari hanya alat yang digunakan oleh Tuhan (ay. 26–28). 

Demikian kesaksian penulis Lukas yang daripadanya kita belajar tentang pengalaman Barnabas, Paulus, jemaat-jemaat, dan tentang ketekunan. Ketekunan bukan sikap hidup yang otomatis dimiliki setiap orang. Ketekunan mesti dilatih, ditempa menjadi karakter setiap warga jemaat (gereja). Ketekunan bukan salah satu daya dorong untuk mencapai target kerja, tetapi juga memungkinkan kerja kita berkualitas. Jadi, ketekunan baru bermakna ketika kita lolos uji dari situasi dan keadaan tersulit dan berisiko. Dengan begitu barulah dikatakan bahwa ketekunan merupakan modal kita untuk berhadapan dan bertahan dalam badai zaman. Salah satu aspek yang amat menentukan ketekunan kita adalah doa dan puasa. Jika Tuhan dilibatkan dalam seluruh karya dan karsa, maka kesulitan, tantangan dan penderitaan hidup tidak membuat jemaat atau gereja loyo, tetapi kokoh.

Namun itu baru satu aspek, karena selain ketekunan masih perlu kemurnian yang tidak boleh dipisahkan. Karena, ketekunan merupakan upaya yang dilakukan secara sadar untuk mengasah dan memperlengkapi diri. Orang yang tekun adalah orang yang sungguh-sungguh mengerjakan sesuatu sehingga berdampak bagi dirinya, orang lain dan lingkungan. Sedangkan kemurnian (Yun: eilikrineia) menggambarkan sesuatu yang tahan uji dan transparan. Tidak ada motif tersembunyi; Bersih, dapat dilihat oleh semua orang. Dua aspek ini sangat penting dan dibutuhkan oleh jemaat dan gereja, karena ketekunan tanpa kemurnian akan menghasilkan pekerja (pelayan) yang memiliki kemampuan lebih, tetapi mudah dibeli, manipulatif karena motif tersembunyi demi kepentingan sendiri atau kelompok. Murni saja akan membuat pelayan menjadi naif, mudah dimanfaatkan orang karena kepolosan. Justru itu ketekunan dan kemurnian sangat dibutuhkan, perlu dipadukan sehingga pelayanan kita semakin baik, relasi dengan sesama semakin harmonis, suasana kerja semakin sehat; kita benar-benar berteologi dalam konteks.

Jadi, bertumbuh dalam ketekunan dan kemurnian perlu diperhatikan dalam konteks masyarakat dan jemaat-jemaat di mana peran teknologi digital sangat berpengaruh membentuk generasi bermental instan, tidak terbiasa menghadapi kesulitan sehingga mudah rapuh dan gugur. Perkembangan yang membawa kemajuan serta pengaruh negatif yang menimbulkan frustrasi mendalam tidak dapat ditepis, karena hidup ini tidak selalu lancar. Kerap, atau mungkin sering, kita berhadapan dengan berbagai tantangan. Dalam situasi demikian, tidak jarang hidup beriman dihayati sebagai bentuk menghindari tantangan, dan persoalan. Seakan, makin beriman, semuanya jadi lancar, tanpa masalah. Hidup beriman yang dihayati demikian bukan iman yang bisa dipertanggungjawabkan. Iman yang sejati adalah iman yang tetap berbicara dalam segala situasi dan keadaan. Iman yang sejati memberi kekuatan dan keberanian menghadapi apa pun yang terjadi dalam hidup kita, bukan menepisnya.

         Anthony Robbins berujar, “Every problem is a gift – without problems we would not grow”. Segala bentuk kesulitan merupakan pemberian yang patut disyukuri karena menjadikan kita dan jemaat-jemaat tangguh dan bertumbuh; terus belajar, diperkaya oleh pengalaman, bijaksana manakala kita hadapi kesulitan, dan pilihan-pilihan sulit dan berisiko!

____________

Geen opmerkingen:

Een reactie posten

Sambutan Rektor

  SAMBUTAN REKTOR UKIM   PADA ACARA PENANDATANGANAN KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN UNIVERSITAS KRIS...