donderdag 17 april 2025

Sambutan Rektor

 

SAMBUTAN REKTOR UKIM

 

PADA ACARA PENANDATANGANAN KESEPAKATAN BERSAMA

ANTARA

KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA

DENGAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

TENTANG

PENGEMBANGAN MODEL DESA SEJAHTERA MANDIRI

 

Kampus UKIM Ambon, 9 Februari 2017

 

 

Yang saya hormati:

1.              Menteri Sosial Republik Indonesia: Ibu Khofifah Indar Parawansa;

2.              Dirjen Pemberdayaan Sosial RI: Bapak Hartono Laras beserta Rombongan Kementerian Sosial RI;

3.              Staff Khusus Kementerian Sosial RI: Bapak Eko

4.              Para Pejabat Eselon 2 Kementerian Sosial RI;

Selamat Datang lagi Ibu dan Rombongan di Kampus UKIM, (Kampus Orang Basudara [Bersaudara])

5.              Bapak Penjabat Wali Kota Ambon;

6.              Kepala Dinas Sosial Propinsi Maluku dan Kota Ambon;

7.              Wakil Ketua MPH Sindoe GPM;

8.              Ketua, Pembina dan Pengawas Yayasan Perguruan Tinggi GPM (Yaperti-GPM);

9.              Para Pembantu Rektor, Direktur Program Pascasarjana, para Dekan dan seluruh Civitas Akademika UKIM yang saya banggakan.

 

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh;

Syalom!

 

            Izinkan saya, mengajak kita semua memanjatkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, karena hari ini, UKIM berbangga lagi atas kehadiran Ibu Menteri Sosial dan Rombongan di Kampus UKIM, Kampus Orang Basudara.

- - saya mengajak Civitas Academika UKIM untuk berdiri, dan memberikan applause kepada Ibu Menteri Sosial RI, Ibu Khofifah dan Rombongan) - -


Standing Ovation ini wajar diberikan kepada Ibu Menteri Sosil RI berdasarkan beberapa alasan. Pertama, kehadiran Ibu Menteri pada tahun lalu di UKIM, sungguh masih tersimpan penyesalan yang dalam, karena saya tidak sempat merekam sambutan Ibu Menteri yang disampaikan di depan Gong Perdamaian. Menurut hemat saya, yang disampaikan Ibu Menteri itu lebih dari sambutan, karena kaya dengan muatan teori dan dipadukan secara apik dengan realitas masyarakat. Berikut, saya dapat merasakan dan, terkesima dengan dalamnya empati Ibu Menteri ketika mendengar lagu “Desaku yang Kucinta” disenandungkan oleh Paduan Suara UKIM (Vox Angelorum Choir).

Kehadiran Ibu Menteri pada hari ini di UKIM, di samping mewarnai, juga memenuhi tuntutan Tahun Kuliah Baru, Tahun 2016/2017 pada Semester Genap, namun di dalamnya Ibu Menteri telah berketetapan hati menentukan UKIM sebagai Mitra Pemerintah RI, khususnya Departemen Sosial RI, dalam rangka Penandatangan Memorandum of Understanding di mana draft akademik bersama telah diselaraskan dengan arah dan kebijakan Pembangunan di Bidang Kesejahteraan Sosial.

Bagi UKIM, bahwa basis Transformation of Knowledge adalah masyarakat yang mesti disentuh, bukan saja dengan sandaran Ilmu dan Pengetahuan, tetapi keterampilan (skill) juga penting untuk dilakukan titik intervensi pensejahteraan masyarakat. Karena itu, ketika UKIM diundang menghadiri kegiatan penyelarasan kebijakan Ibu Menteri Sosial RI di Semarang pada 1-3 Februari 2017 ybl. di Semarang, di mana titik tolak kebijakan Ibu Menteri berbasis pada Desa Mitra sebagai PENGEMBANGAN MODEL DESA SEJAHTERA MANDIRI, maka ini pertanda bahwa Civitas Academika UKIM telah termasuk ke dalam salah satu pilar pelaksana kebijakan program-program pembangunan di bidang kesejahteraan sosial.

Menurut hemat saya, salah satu kata kunci dalam kaitan dengan perguruan tinggi dan “Pengembangan Model Desa Sejahtera Mandiri” ini terletak pada penguatan sumder daya manusia (tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan mahasiswa) yang berkarakter dalam rangka kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal dan nasional (juga internasional). Satu pepatah asing berbunyi: “Time is money, Knowledge is power, but character is more” (Inggris) atau “Tijd is geld, kennis is macht, maar karakter is meer” (Belanda). Karakter bersama nilai-nilai luhur lain (value), mesti melandasi pengetahuan yang diaplikasikan dalam masyarakat plural, karena di atasnya terdapat pengertian, hikmat atau understanding yang sungguh kita butuhkan demi kesejahteraan bersama.

Ibu Menteri Sosial dan Rombongan yang kami hormati,

Bahwa, kepercayaan yang diberikan Ibu Menteri kepada UKIM merupakan suatu instrumen akademik yang bertindih secara kuat dengan semboyan praktik pekerjaan sosial “To Help People To Help Themselves”; Artinya UKIM bersama Pemerintah, yakni Departemen Sosial, akan dan terus bekerja untuk mengatasi serta mencari solusi yang tepat, terarah dan terukur dalam rangka pemecahan masalah-masalah di bidang kesejahteraan sosial sehingga masyarakat di wilayah pedesaan menjadi berdaya. Dan, ketika masyarakat yang sedang menyandang kesejahteraan sosial sungguh berdaya, maka Pemerintah dan Perguruan Tinggi telah turut memainkan peranan penting dan strategis dalam menangani setiap permasalahan kesejahteraan sosial.

Atas dasar itu, maka untuk memperkuat pengetahuan kita tentang bagaimana cara mengimplementasikan program PENGEMBANGAN MODEL DESA SEJAHTERA MANDIRI, maka saya mohon dengan hormat kepada Ibu Menteri Sosial RI untuk pada waktunya nanti dapat memberikan sambutan tentang pentingnya Penandatanganan Kesepakatan Bersama dan Pengembangan Model Desa Sejahtera Mandiri.

Saya dan seluruh civitas academika UKIM menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang dalam kepada Ibu Menteri yang telah menjadikan UKIM sebagai Mitra Kerjanya. Kiranya penandatanganan MoU ini akan kami implementasikan secara baik dan terbuka sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertanggungjawaban kami terhadap kepercayaan Ibu Menteri Sosial RI kepada UKIM. Kami tetap mendoakan, kiranya Ibu Menteri beserta jajarannya senantiasa diberikan Kekuatan, Berkat dan Ketulusan hati dalam bekerja bagi Masyarakat, Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam rangka itu, saya menghimbau dan mengajak semua pihak - para kolega, tenaga pendidik dan kependidikan - agar berani berkompetisi dengan spirit gotong-royong, berani melakukan lompatan-lompatan baru seputar program studi dan kurikulum dalam rangka melahirkan sumber daya manusia yang berakhlak mulia, berkualitas, profesional dan, optimislah menunaikan Tridharma Perguruan Tinggi. Teruslah bertumbuh dan berkembang sesuai moto UKIM: BERTUMBUH DI DALAM DAN OLEH IMAN, PENGETAHUAN DAN KASIH (2Ptr. 1: 5-7).

Wabillahit Taufiq Walhidayah;

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Syalom!

 

Terima kasih.

 

 

Rektor,

 

 

Dr. Cornelis Adolf Alyona, M.Th.

NIDN: 1230095401

maandag 14 april 2025

Klasis Kota

 

SIDANG KE-49 KLASIS GPM KOTA AMBON

Minggu, 23 Februari 2025, Gedung Gereja Bethania, Jam 8.00 WIT

 

Tema

BERITAKANLAH TAHUN RAHMAT TUHAN TELAH DATANG

DAN KERJAKANLAH KESELAMATANMU

 

Sub Tema

TEGUHLAH SEBAGAI GEREJA YANG PROFETIK

UNTUK TERUS BERBUAH BAGI KEHIDUPAN BERSAMA

 

Kisah Para Rasul 14:21-28

Tema Bulanan

Bertumbuhlah sebagai Gereja yang Teguh

Tema Minggu

Bertumbuh dalam Ketekunan

 

 

Saudaraku, dan peserta Sidang ke-49 Klasis GPM Kota Ambon yang dikasihi oleh Tuhan Yesus Kristus.


Mengumpulkan orang dalam jumlah banyak, ramai dan meriah dapat dilakukan dengan menyediakan berbagai hal menarik dan menyenangkan; artis, pengkhotbah populer dapat didatangkan untuk “menyukseskan”. Keberhasilan seperti itu masih sering dijadikan tolok ukur berdasarkan jumlah (kuantitas). Dalam konteks gereja, khususnya Sidang ke-49 Klasis GPM Kota Ambon, ukuran keberhasilan tidak hanya pada kuantitas, tetapi kualitas. Kualitas dimaksud perlu dihadapkan dengan mempertanyakan “sejauh mana gereja (klasis) dan jemaat-jemaat menjalankan fungsi profetiknya sebagai tempat “bertumbuh dalam ketekunan” di wilayah pelayanan masing-masing sehingga semakin dewasa dalam iman, peduli terhadap sesama dan lingkungan, peka terhadap berbagai fenomena yang sementara melanda namun menentukan hidup mati umat Tuhan di Kota ini. Produk persidangan ini yang antara lain membuat gereja semakin berperan sebagai mitra Allah untuk menghadirkan “Rahmat Tuhan” di pelbagai bidang hidup (ekonomi, sosial, politik, dst.) dalam gereja dan masyarakat.

Tantangan dan harapan ini mengingatkan kita pada Barnabas yang pernah bertemu Paulus. Pengalaman mereka dapat dijadikan cermin untuk kita pada masa kini, karena seyogianya Allah yang bertindak di balik semua perjalanan dan seluruh kerja mereka. Ini yang saya sebut “sejarah”, tetapi bukan dalam arti historie (Bhs. Bld, Jrm: menekankan fakta), tetapi “Geschiedenis” (Bld) atau “Geschichte” (Jrm) yang lebih memberikan aksentuasi pada “nilai”. Kita yang hadir di gedung gereja ini secara faktual disebut historie, tetapi ketika dikatakan bahwa kehadiran kita pada persidangan ini karena campur tangan Tuhan, itu Geschiedenis. Semua yang dikerjakan, dialami karena diimani ada campur tangan Tuhan disebut Geschiedenis. Semua kisah dalam Alkitab adalah Geschiedenis, karena Tuhan berperan di balik semua peristiwa yang telah lama terjadi.

Sadarkah kita tentang Tuhan yang sama itu pun hadir dan berperan bersama kita dalam persidangan ini? Bukankah setiap tahun klasis dan jemaat-jemaat mengalami pertambahan angka kelahiran, baptisan, sidi, dan pernikahan secara kuantitas? Tetapi pertambahan itu tidak serta-merta berarti telah terjadi pertumbuhan kualitas menjadi pribadi yang matang, dewasa dan sungguh kristiani. Dan, tidakkah hambatan dalam pertumbuhan gereja ini tidak terletak pada aspek di luar diri, tetapi terutama di dalam diri tiap orang, jemaat-jemaat dan klasis? Sikap merasa kecil, frustrasi, fatalis terhadap perkembangan dan tantangan dunia dewasa ini dapat mereduksi daya, potensi SDM dan menggoyahkan keyakinan kita. Itu sebabnya kita perlu keluar dari jerat sindrom tersebut; sikap-sikap pesimis sedemikian mesti di-retouch, dijamah oleh Roh Tuhan agar kita tetap memiliki spirit dan exist seperti umat Kristen perdana. 

Dari sejarah kekristenan awal, diketahui bahwa demi mempertahankan eksistensi dari pemusnahan para pengikut Kristus setelah martir Stefanus, tidak sedikit dari mereka meninggalkan Yerusalem menuju Fenesia di Utara, malah ke arah lebih utara lagi yaitu Antiokhia, ibu kota Siria yang kala itu luput dari jajahan Romawi.

         Dalam perkembangan, berita tentang Anthiokia itu sampai di persidangan jemaat di Yerusalem. Persidangan gerejawi kemudian mengutus Barnabas yang berkarakter baik, beriman, selalu mengandalkan Roh Kudus (Kis. 11:24) untuk misi khusus. Pribadinya yang luwes, tidak kaku terhadap hukum dan ketetapan, lembut hati, tidak offensive, menerima kelebihan dan kekurangan setiap orang “percaya baru”. Terhadap mereka ia gembalakan, membesarkan hati, memberi motivasi, wejangan dan selalu mengingatkan agar setia. Di sini tidak dikenal pola pekabaran Injil “pergi, masuk, pelan-pelan, tetapi mantap” semisal “ragi”. Pola yang digunakan adalah menabur kebaikan, berlaku santun dan rendah hati, sehingga banyak orang dari berbagai kalangan menjadi percaya; Ia tidak arogan dan bermental superioritas triumphalistik.

         Kendati sudah dipandang baik, ternyata Barnabas tidak menyoal tentang misi, namun tindak lanjutnya (followup). Dibutuhkan orang yang tepat untuk menggembalakan jemaat di Antiokhia, kota terbesar ketiga setelah Roma dan Alexandria. Tantangan konteks pelayanan di wilayah metropolitan itu mengingatkan Barnabas pada Paulus yang sudah sembilan tahun tidak dijumpainya. Menurutnya, Paulus orang yang tepat; cocok untuk konteks jemaat Antiokhia. Kendati berlatar belakang Yahudi, Paulus dinilai mampu membangun relasi dengan orang non-Yahudi, memiliki teologi (ajaran) yang jelas, pengalaman iman yang nyata; pemberani dan argumentator ulung. Tepatlah kata pepatah, “A friend in need is a friend indeed” (“Seorang sahabat pada masa kekurangan adalah seorang sahabat sejati”). Tantangan konteks metropolitan Antiokhia merupakan ujian untuk mengetahui kualitas persahabatan mereka. Kualitas persekutuan jemaat pun tidak bisa dilihat dari banyaknya orang yang hadir menikmati suguhan dan berjuang kala diterpa berbagai kesulitan.

Pembacaan Alkitab hari ini (Kis. 14:21-28) berkisah tentang dua hamba Tuhan melakukan savari pekabaran Injil di jemaat-jemaat, dan akhirnya kembali dan menghimpun orang Kristen di Antiokhia. Sejatinya Barnabas dan Paulus mengisahkan tentang Allah yang bertindak dan terlibat di seluruh perjalanan dan pekerjaan mereka (Geschiedenis). Demikian pula tentang kuatnya keterikatan, kekompakan, kerja sama sebagai pelayan, serta keterikatan spiritual dan tanggung jawab terhadap jemaat yang telah terbentuk. Makanya jemaat Antiokhia semakin maju, suasana persaudaraan bertumbuh, eksistensi komunitas pengikut Kristus menjadi kokoh (ay. 21-22). Jemaat disadarkan tentang kesulitan dan penderitaan yang mesti dihadapi dengan mengandalkan Kristus. Warga jemaat saling menguatkan karena manusia umumnya cenderung rapuh menghadapi atau diterpa kesulitan dan penderitaan. Pemimpin dan kepemimpinan gembala sangat dibutuhkan sehingga diangkat para penatua agar berfungsi sebagai pengawas, gembala, uskup, atau pendeta; mereka itu ditopang dengan doa dan puasa, kemudian diserahkan kepada Tuhan (ay. 23-25). Organisasi dan pengorganisasian merupakan aspek penting demi pertumbuhan jemaat. Tuhan selalu dilibatkan; mereka tidak lebih dari hanya alat yang digunakan oleh Tuhan (ay. 26–28). 

Demikian kesaksian penulis Lukas yang daripadanya kita belajar tentang pengalaman Barnabas, Paulus, jemaat-jemaat, dan tentang ketekunan. Ketekunan bukan sikap hidup yang otomatis dimiliki setiap orang. Ketekunan mesti dilatih, ditempa menjadi karakter setiap warga jemaat (gereja). Ketekunan bukan salah satu daya dorong untuk mencapai target kerja, tetapi juga memungkinkan kerja kita berkualitas. Jadi, ketekunan baru bermakna ketika kita lolos uji dari situasi dan keadaan tersulit dan berisiko. Dengan begitu barulah dikatakan bahwa ketekunan merupakan modal kita untuk berhadapan dan bertahan dalam badai zaman. Salah satu aspek yang amat menentukan ketekunan kita adalah doa dan puasa. Jika Tuhan dilibatkan dalam seluruh karya dan karsa, maka kesulitan, tantangan dan penderitaan hidup tidak membuat jemaat atau gereja loyo, tetapi kokoh.

Namun itu baru satu aspek, karena selain ketekunan masih perlu kemurnian yang tidak boleh dipisahkan. Karena, ketekunan merupakan upaya yang dilakukan secara sadar untuk mengasah dan memperlengkapi diri. Orang yang tekun adalah orang yang sungguh-sungguh mengerjakan sesuatu sehingga berdampak bagi dirinya, orang lain dan lingkungan. Sedangkan kemurnian (Yun: eilikrineia) menggambarkan sesuatu yang tahan uji dan transparan. Tidak ada motif tersembunyi; Bersih, dapat dilihat oleh semua orang. Dua aspek ini sangat penting dan dibutuhkan oleh jemaat dan gereja, karena ketekunan tanpa kemurnian akan menghasilkan pekerja (pelayan) yang memiliki kemampuan lebih, tetapi mudah dibeli, manipulatif karena motif tersembunyi demi kepentingan sendiri atau kelompok. Murni saja akan membuat pelayan menjadi naif, mudah dimanfaatkan orang karena kepolosan. Justru itu ketekunan dan kemurnian sangat dibutuhkan, perlu dipadukan sehingga pelayanan kita semakin baik, relasi dengan sesama semakin harmonis, suasana kerja semakin sehat; kita benar-benar berteologi dalam konteks.

Jadi, bertumbuh dalam ketekunan dan kemurnian perlu diperhatikan dalam konteks masyarakat dan jemaat-jemaat di mana peran teknologi digital sangat berpengaruh membentuk generasi bermental instan, tidak terbiasa menghadapi kesulitan sehingga mudah rapuh dan gugur. Perkembangan yang membawa kemajuan serta pengaruh negatif yang menimbulkan frustrasi mendalam tidak dapat ditepis, karena hidup ini tidak selalu lancar. Kerap, atau mungkin sering, kita berhadapan dengan berbagai tantangan. Dalam situasi demikian, tidak jarang hidup beriman dihayati sebagai bentuk menghindari tantangan, dan persoalan. Seakan, makin beriman, semuanya jadi lancar, tanpa masalah. Hidup beriman yang dihayati demikian bukan iman yang bisa dipertanggungjawabkan. Iman yang sejati adalah iman yang tetap berbicara dalam segala situasi dan keadaan. Iman yang sejati memberi kekuatan dan keberanian menghadapi apa pun yang terjadi dalam hidup kita, bukan menepisnya.

         Anthony Robbins berujar, “Every problem is a gift – without problems we would not grow”. Segala bentuk kesulitan merupakan pemberian yang patut disyukuri karena menjadikan kita dan jemaat-jemaat tangguh dan bertumbuh; terus belajar, diperkaya oleh pengalaman, bijaksana manakala kita hadapi kesulitan, dan pilihan-pilihan sulit dan berisiko!

____________

Tuhan itu Baik


TUHAN ITU BAIK KEPADA SEMUA CIPTAAN

Mencerdaskan Umat

untuk Bersama-Sama Melakukan Tugas Pembaruan

dalam Kehidupan Bergereja, Bermasyarakat dan Berbangsa


Perspektif Teologi

Dr. Cornelis Adolf Alyona, M.Th


PENGANTAR

            “TUHAN itu Baik kepada Semua Ciptaan” merupakan fokus pergumulan dan refleksi kritis GPM selama tahun 2010-2015 dalam rangka memahami relasinya dengan Allah Pencipta melalui Yesus Kristus dan konteks di mana ia berakar, bertumbuh, berkembang dan, berbuah.  Tema yang disari dari Mazmur 145:9 (“TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya”) ini tidak semata diboboti kesadaran dan pengakuan bahwa TUHAN itu baik terhadap seluruh ciptaan, tetapi juga ditegaskan betapa manusia dan non-manusia, biotik dan abiotik berhak hidup dan menikmati kebaikan TUHAN sehingga tidak dapat di-claimed sebagai hak istimewa manusia, kelompok tertentu, termasuk kekristenan.

            Dalam tradisi penciptaan ditegaskan bahwa Allah menciptakan setiap unsur ciptaan (fisik), termasuk manusia (makhluk sosial) dengan predikat AMAT BAIK (Ibr.: tobh meodh: Kej. 1:31) yang makna literernya mencakup dimensi etis (“baik”) dan estetis (“indah”).[1] Allah yang baik itu mewujudkan kebaikan-Nya terhadap seluruh ciptaan melalui karya kreatif, kualitas, holistik (fisik, sosial, etis, estetis) dan integratif (menyatu dalam eksistensi ciptaan yang khas berbeda dan menyatu). Kualitas karya Allah itu tampak melalui tindakan mengubah chaos menjadi kehidupan yang teratur dan tersistem; melalui keanekaragaman ciptaan yang saling terkait dan saling menguatkan, melalui kepercayaan dan tanggung jawab (mandat budaya) yang diberikan kepada manusia, dan non-manusia untuk meneruskan karya kreatif Allah (on going creation). Namun hakikat manusia yang diciptakan sebagai “gambar Allah” (Kej.1:26,27) dan “makluk hidup” (Kej. 2:7) digerogoti oleh berbagai kekuatan destruktif yang menampilkan wajahnya secara struktural dalam bentuk keterbelakangan, keterisolasian, kebodohan, kemiskinan, penyakit, perang, teror, kekerasan, bencana alam, dst., serta secara internal melalui kecenderungan self and power oriented, keserakahan, arogansi, dst. Begitu pun keutuhan dan keanekaragaman ciptaan secara substansif mengalami ketidakadilan ekologis (eco-injustice) karena faktor alamiah (natural disaster) dan tindakan manusia (disaster by human activities) yang menyebabkan kosmos, termasuk ekosistem di bumi, terancam. Eksistensi relasional manusia dengan sesama secara sosial, dengan lingkungan secara ekologis, dengan TUHAN secara spiritual pun bergeser menjadi pragmatis yang dikuasai oleh kepentingan dan arogansi.

Realitas demikian mengindikasikan betapa hakikat ciptaan yang berkualitas “amat baik” mengalami degradasi kualitas. Itu sebabnya GPM terpanggil melakukan misi profetis memulihkan dan membarui agar hakikat ciptaan yang “amat baik” itu ditemukan kembali; kehidupan bergereja, bermasyarakat dan berbangsa semakin lebih baik, harmonis dan berkualitas. Tugas bersama itu membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang cerdas seperti dituangkan dalam rumusan sub-tema.


KONTEKS BUTUH UMAT YANG CERDAS

            GPM pada tahun 2010 memiliki 524.403 jiwa, termasuk 1.307 pegawai organik  (1.012 pendeta dan penginjil, 259 pegawai non-pendeta di 26 Klasis), 754 jemaat yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi Maluku dan sebagian di wilayah Provinsi Maluku Utara.[2] Kuantitas SDM ini dipahami sebagai anugerah Tuhan yang harus dihargai dan dioptimalkan untuk tugas Persekutuan, Kesaksian dan Pelayanan dalam konteks gereja, masyarakat dan bangsa. Tugas itu berat dikarenakan realitas geografis GEREJA KEPULAUAN menghadapkan peluang yang harus dikelola secara baik dan ancaman yang mesti diantisipasi secara seirus, seperti tanggap terhadap bencana dan ancaman Tsunami.[3] Di satu sisi, warga jemaat GPM hidup di tengah realitas tanah, hutan yang dominan ditampilkan lewat simbol “cengkih pala”; di pesisir pantai dan laut yang kaya aneka sumber daya alam (SDA) namun minim simbol potensi kelautan, sementara sebagian besar warga masih bergelut dengan isu lingkungan, konflik agraria dan hak masyarakat adat/hak ulayat, serta realitas kemiskinan yang antara lain sebagai akibat dari dominasi kekuasaan ekonomi penguasa modal dan birokrasi yang kehilangan nurani keadilan dan keberpihakkan pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat kecil. Kenyataan demikian, di sisi lain, turut berpengaruh pada tingkat pendidikan SDM yang berkualitas dan kompeten, kualitas gizi dan kesehatan yang rendah, kesulitan mengakses informasi secara baik, komunikasi dan transportasi, dst.

Di tengah realitas konteks demikian, umat yang menjadi subjek dalam misi profetis gereja serta pembangunan bangsa dan negara, rentan terancam menjadi objek kepentingan dan keserakahan kekuasaan. Kemajemukan pulau, suku/sub-suku, budaya, bahasa, agama dan denominasi, ibarat “pelangi” yang dianugerahkan TUHAN untuk memperkaya keindahan hidup bersama, sebagai “tanda” (sign) kebaikan TUHAN yang menyatukan, menghidupkan, mendinamiskan dan memberkati upaya menatalayani keragaman ciptaan demi kesejahteraan hidup bersama. Namun keragaman sering dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan sehingga muncul konflik dan kekerasan, segregasi, menguatnya primordialisme sempit yang mengganggu tatanan hidup bersama sebagai gereja, masyarakat, bangsa dan negara.

Kendati Indonesia telah meratifikasi Hak-hak Azasi Manusia Internasional, pelanggaran, malah penistaan kemanusiaan kerap terjadi dalam pelbagai bentuk. Kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga, kekerasan atas nama agama, perkosaan dan kejahatan jalanan, penyerbuan dan pengrusakan, penggusuran atas nama keindahan kota, korupsi dan teroris mendera kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum nyaris tak berdaya menggali ketidakmanusiawian di negeri yang sangat menjunjung prinsip “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Sementara agama (baca: gereja) asyik mempermegah tempat ibadah, mengembangkan ritual keagamaan yang menawarkan tiket ke sorga sehingga lupa memedulikan kejahatan kemanusiaan di hadapan mata. Gereja cenderung mewartakan ayat-ayat suci demi mempergemuk sikap-tindak-gaya hidup “vertikalis-dogmatis” ketimbang humanis yang justru hadir via teologia Inkarnasi, Allah menjadi manusia yang sungguh manusiawi demi menjunjung harkat dan martabat manusia yang diciptakan dengan penuh kasih sayang.

Setidaknya dicatat dua momen penting pada tahun 2014, yakni pemilihan majelis jemaat dan pemilihan anggota-anggota DPR sebagai badan legislatif pada tingkat DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemilihan majelis jemaat di lingkungan gereja dan perhelatan politik secara nasional sangat penting bagi kehidupan bergereja, berbangsa dan bernegara untuk jangka 2014-2019. Karenanya gereja terpanggil untuk mencerdaskan umat sehingga mampu berperan sebagai subjek yang cerdas menyalurkan aspirasi politik dan mampu melaksanakan pembaruan di tengah kehidupan bergereja, berbangsa dan bernegara. Gereja memahami pembangunan nasional sebagai upaya sengaja dan terencana demi mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik. Dukungan dan partisipasi itu hendaknya diwujudkan dengan sikap positif, kreatif, kritis dan realistis.

 

KECERDASAN YANG HOLISTIK DAN INTEGRATIF WUJUD KEBAIKAN TUHAN

            Sub-Tema MPL ke-35 ini meletakkan aksentuasi pada tugas bersama sebagai gereja (pimpinan, pelayan, warga gereja) berserta seluruh komponen masyarakat karena sangat membutuhkan kecerdasan untuk melakukan pembaruan dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan berbangsa. Pasalnya, cerdas mengacu pada “perkembangan akal budi yang sempurna; tajam pikiran”.[4] Makna kata “cerdas” tidak semata menunjuk pada kemampuan rasio (akal, intelektual) untuk berpikir, tetapi juga kemampuan budi (nous) untuk mengerti, menghayati, mempertimbangkan sesuatu secara matang. Jadi, orang cerdas memiliki kemampuan berpikir secara kritis sambil mempertimbangkan segala hal sebelum dikatakan atau dilakukan.

            Semisal konsep postmodernisme yang menekankan diskontinyu modernitas, lantas lahir hipermodernisme menggarisbawahi radikalisme modernitas. Pribadi hipermodernitas sangat individualis; penghuninya terperangkap dalam putaran globalisasi ekonomi, semakin didominasi hukum pasar dan dikondisikan oleh waktu yang cepat dan padat. Masyarakat cenderung mencari kepuasan langsung dan menyingkirkan pelbagai pembatas seperti norma kolektif atau tujuan bersama. Acuan bersama tidak ditemukan lagi, kecuali risiko yang mesti ditanggung bersama. Jadi hipermodernisme bukan kematian modernisme, tetapi upaya mencapai puncak modernisme yang terwujud dalam globalisasi liberalisme, komersialisasi gaya hidup yang nyaris menyentuh seluruh bidang kehidupan, eksploitasi rasio berlebihan dan individu semakin mengemuka.[5]

            Atas pertimbangan itu maka perlu digali makna Alkitab tentang KECERDASAN sebagai bagian dari HIKMAT (Ibr.: hokmah; Yun.: sophia; Ing.: wisdom; Bld: wijsheid). Kata “hikmat” ini digunakan secara bergantian dengan padanannya, yakni kecerdasan, pengetahuan, kebijaksanaan, pendidikan, pengertian dan pertimbangan (bdk. Ams. 8:12). Maka, orang berhikmat ialah orang yang memiliki pengetahuan, kecerdasan, pengertian, pertimbangan yang matang, dan secara arif melihat, memahami dan menyikapi realitas. Dari perspektif sub-tema, orang berhikmat itulah orang cerdas sehingga ia dituntut mesti berhikmat. Tradisi hikmat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menegaskan beberapa hal substansial terkait dengan hikmat dan upaya memperoleh hikmat sebagai berikut.

 Allah Sumber Kecerdasan

Hikmat diciptakan oleh Allah, berada bersama Allah sebelum segala sesuatu diciptakan-Nya (Ams. 2:6; 3: 19; 8:22-31; bdk. ay. 28). Itu berarti Allah menggunakan hikmat sebagai “cara” atau “jalan” (the way) untuk memperoleh inspirasi, daya kreasi, pertimbangan yang matang, keputusan yang tepat dan benar kala mewujudkan proses penciptaan langit, bumi beserta segala isinya.[6] Melalui hikmat, Allah menghasilkan karya-karya kreatif-Nya yang “amat baik” (bdk. Kej. 1:31). Hikmat melahirkan karya kreasional yang tidak hanya baru secara fisik, tetapi juga mengandung nilai etika dan estetika yang bermanfaat bagi kehidupan bersama seluruh ciptaan. Justru itu Allah menganugerahkan hikmat kepada manusia sebagai the way untuk menemukan pengertian, keberanian dan cara tepat untuk menyatakan, membela dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan (Ams. 2:9; 8:1-3,7,8,dst.).

Dengan hikmat, manusia tidak semata diberikan kemampuan untuk mengerti dan membedakan kebenaran dan keadilan, tetapi terlebih menyatakan keberpihakan pada kebenaran dan keadilan, mampu memperjuangkannya dengan cara yang benar dan adil. Kemampuan seperti ini sangat dibutuhkan di tengah realitas kehidupan bergereja dan bermasyarakat, di mana kebenaran dan keadilan mudah diperjualbelikan.

Hikmat merupakan the way dalam rangka menemukan kualitas moral dan kekuatan spiritual untuk menyikapi berbagai realitas yang baik dan buruk sehingga pilihan dan keputusan yang diambil tetap tepat, benar, konsisten (Ams. 2:11,12; 5:14; 6:4-5,12-14, dst.). Malah Hikmat adalah the way yang melaluinya manusia diberi kemampuan mengamati, merenungkan, menghayati dan memaknai secara mendalam semua karya Allah di alam semesta (Ayb. 38:4-33), sehingga hikmat menuntun manusia menghargai dan berlaku adil terhadap ciptaan lain sambil menghindari dominasi dan diskriminasi ciptaan.

            Dalam Perjanjian Baru, Yesus dipahami dan diyakini sebagai inkarnasi Firman (word) atau Hikmat (Wisdom),[7] yang dengannya Allah menciptakan dan menyelamatkan segala sesuatu (Yoh. 1:1-18; bdk. Ams. 8; Kol. 1:15-20; Ibr. 1:1-14; 1 Kor. 24, 30).[8] Itu berarti, totalitas kehidupan Yesus (perkataan, pengajaran, tindakan, peristiwa yang dijalani-Nya) merupakan wujud dari Hikmat Allah. Sejak usia 12 tahun, Yesus yang pertama kali dibawa orang tua-Nya ke Yerusalem merayakan Paskah Yahudi, mampu berdialog dengan alim ulama yang terpesona menyaksikan kecerdasan-Nya (Luk. 2: 41-52). Kekaguman mereka tidak semata pada pengetahuan dan daya kritis Yesus, tetapi juga integritas dan konsistensi-Nya pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, empati dan solidaritas terhadap kaum lemah, menderita dan yang diperlakukan tidak adil oleh struktur kekuasaan.

            Dalam kaitan dengan peristiwa salib, Rasul Paulus menyebut Yesus sebagai Hikmat Allah (1 Kor. 1:24). Melalui Salib, hikmat dibuktikan sebagai the way yang memungkinkan Allah melalui Kristus memahami ketidakberdayaan ciptaan-Nya, lantas bersedia berkurban demi menyelamatkan ciptaan-Nya dari ketidakberdayaan. Allah memilih dan menyatakan keberpihakkan-Nya pada ciptaan yang tidak berdaya, serta bersama seluruh ciptaan berjuang agar bebas dari kemiskinan, penyakit, ketidakadilan, dan kehancuran hakikat ciptaan melalui jalan salib. Salib menjadi simbol dan icon dari hikmat yang melumpuhkan arogansi kekuasaan dengan cinta kasih tanpa kekerasan, memperjuangkan kebenaran dan keadilan tanpa gentar menghadapi risiko terburuk, melahirkan nilai-nilai empati dan solidaritas ciptaan tanpa dominasi dan diskriminasi ciptaan (bdk. Kol.1:20).

            Dalam konteks demikian, hikmat membuktikan dirinya sebagai the way yang menuntun kecerdasan intelektual, diimbangi kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial. Dengan begitu, salib menjadi kritik terhadap perspektif atau paradigma (cara pandang, sikap dan tindakan) yang mengagungkan kecerdasan intelektual sebagai satu-satunya kemampuan melihat dan memaknai realitas. Perspektif sedemikian dimiliki orang Yunani di Korintus sehingga salib dinilai sebagai kebodohan (1 Kor. 1:23c). Penilaian dan sikap demikian gara-gara rasionalits dipatok sebagai ukuran satu-satunya, lantas salib dinilai tidak logis, tidak rasional, tidak mendatangkan profit. Rasul Paulus yang mengkritisi pandangan Yunani itu berpandangan bahwa melalui salib kekhasan hikmat Allah sungguh-sungguh tampak sebagai Kasih yang tidak masuk akal, kasih yang rela dilukai. Kasih seekstrim itulah Hikmat Allah yang sesungguhnya, yang sejak awal menciptakan dan menggerakkan seluruh ciptaan.[9] Kasih Allah itu hanya dapat dimengerti, dipahami dan dimaknai dengan menggunakan hikmat sebagai kecerdasan yang bersifat holistik dan integratif.

            Bukankah Allah mengaruniakan hikmat kepada leluhur dalam setiap komunitas masyarakat lokal, termasuk di Maluku dan Maluku Utara? Dengan hikmat yang dimiliki, mereka menciptakan dan mewariskan local wisdom (kearifan/hikmat lokal) yang sangat beragam dan berdayaguna demi kehidupan masyarakat. Melalui local wisdom, komunitas lokal tidak saja terbentuk, tetapi juga dimampukan mengelola secara arif dan mengembangkan secara positif kehidupan komunitas sambil tetap terbuka dan kritis terhadap perubahan zaman. Dengan local wisdom, masyarakat lokal diberi kemampuan secara intelektual, emosional, spiritual, dan sosial untuk merumuskan hukum-hukum adat dan nilai-nilai kehidupan yang luhur agar relasi sosial, ekologis dan spiritualnya dapat berlangsung baik.

Hal ini diteropongi lewat kacamata budaya Pela dan GandongAin Ni AinKidabela, Duan-Lolat, Masohi, dst, yang menerangi pikiran dan hati masyarakat lokal untuk membangun relasi sosialnya. Begitu pula semisal budaya Sasi di mana masyarakat lokal mengelola relasi ekologisnya dengan lingkungan alam. Budaya-budaya lokal tersebut memperlihatkan kecerdasan para pewaris, pelaku dan penerusnya yang tidak hanya hebat secara intelektual tetapi juga piawai secara emosional dan spiritual dalam mengelola kehidupan dan komunitasnya. Kecerdasan yang diekspresikan selalu dalam kesadaran dan penghargaan terhadap Yang Illahi sebagai Sumber Hikmat, dan nilai-nilai etik-moral yang terkait dengannya. Jadi, hikmat selalu memiliki hubungan relasional dengan Allah. Hikmat melibatkan kemampuan rasional (intelektual), spiritualitas, dan emosional, saling terkait dan terintegrasi dalam diri manusia. Hikmat bersifat holistik, integratif, praksis, dan praktis.

Mencari hikmat berarti pertama-tama mengakui Allah sebagai Sumber Hikmat itu sendiri (Ams. 1:7a), dan meneladani cara Allah menggunakan hikmat sebagai the way untuk berkarya dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh ciptaan. Itu berarti Hikmat tidak dengan sendirinya dimiliki manusia, tidak otomatis dimiliki gereja. Hikmat mesti dicari, sampai ditemukan, kemudian dicintai dan digunakan secara absolut dalam kehidupan. Dengan Hikmat, seluruh ciptaan dapat melihat, merasakan dan menikmati Kebaikan TUHAN, Sang Sumber Hikmat (Kecerdasan) itu.

Jika dalam tradisi Yunani, garam (NaCl) diasosiasikan dengan “yang dikasihi Ilahi [Allah]”, dan rabbinic textmengartikan garam sebagai “kebijaksanaan” atau “hikmat” (bdk. J.A. Emerton), maka dapat dipahami kala Yesus mengenakan metafor “garam” pada para murid-Nya sebagai “orang-orang bijak”, “oran-orangg pilihan yang dikasihi Allah”. Sifat, watak dan karakter garam dapat diwujudkan lewat aksi menyelamatkan semesta dari pembusukan (corruption).

Dalam sastra Yunani, murid (mathetes) berarti pupil dan disciplePupil menekankan relasi guru – murid, disciple menekankan proses yang dijalani murid. Dari sini dijumpai tiga konsep dari kata disciple: (1), “belajar” merupakan elemen intelektual yang diserap dari teori pengetahuan (kognitif). (2), “belajar” merupakan rekoleksi dari sesuatu yang tidak ada dalam hati nurani menjadi bagian dari hati nurani (afektif). (3), “belajar” merupakan penerapan dari pengembangan pemahaman moral (psikomotorik). Sedangkan konsep pupil menekankan persekutuan murid – guru yang bergayut hingga tampil pemimpin (future leader). Diharapkan seorang yang menjalani proses belajar dan harapan belajar seumur hidup terjadi proses dibentuk (formed), diubah (transformed), kemudian membentuk orang lain (formed to shape). Jadi seorang murid mesti terus memiliki relasi yang intim dengan guru dan institusi demi mencapai formasi spiritualitas (spiritual formation) sehingga mengubah dalam hal: transformated mind (pikiran), transformated character (karakter), transformated relationship (relasi), transformated habits(kebiasaan), transformated service (pelayanan), dan transformated influence (pengaruh).

 

 Kecerdasan Diperoleh dari Pengalaman Hidup, Pendidikan dan Pembinaan

Hikmat yang diciptakan TUHAN, dinugerahkan kepada setiap orang yang sungguh-sungguh mencari (Ayb.38:4-39:33), menemukan (Ams.8:35), mencintai (Ams.4:8) dan menggunakannnya secara baik dalam kehidupan sehari-hari (Ams.4:13). Itu berarti, hikmat bukan barang jadi, tetapi proses (the way) untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, pengertian, pertimbangan yang matang, spiritualitas yang kuat, pengendalin emosional yang tinggi, sikap dan perilaku yang baik dan tepat selama menjalani kehidupan sehari-hari.[10]

Dalam tradisi Alkitab, hikmat diperoleh terutama melalui pengalaman hidup. Orang berhikmat menjadikan pengalaman hidup sebagai sumber primer mencari hikmat. Mereka mengamati realitas sosial, politik, ekonomi, ekologis, spiritual, serta berusaha mengerti dan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh realitas tersebut, dan menentukan sikap yang benar dan tepat demi meneropong masa depan. Pengalaman (ervaring, bevinding) yang mengalami proses penajaman atau pendalaman (discernment) dijadikan bahan untuk pendidikan dan pembinaan dalam keluarga dan masyarakat.

Yesus yang penuh hikmat pun menjadikan realitas sebagai salah satu sumber primer pengajaran dan perjuangan-Nya. Ia mengamati dan mendalami secara kritis realitas sosial, politik, ekonomi, budaya, dst, kemudian mendidik murid-murid-Nya dan masyarakat agar bersikap kritis selama menjalani dan menyikapi realitas hidup. Ia mendidik para murid-Nya agar tidak hanya menerima dan menjalani setiap tradisi dalam hidup beragama, bermasyarakat dan berumah-tangga, tetapi mesti kritis terhadap tradisi-tradisi tersebut, khususnya yang melanggengkan status quo, diskriminasi, eksploitasi dan ketidakadilan.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hal yang hampir serupa pernah diperankan oleh para leluhur yang mampu menghasilkan local wisdom karena mereka belajar mecermati secara mendalam berbagai realitas dan pengalaman hidup di tengah-tengah realitas tersebut. Pengalaman hidup yang telah dicermati secara baik, dijadikan sumber kebijaksanaan lokal untuk menciptakan hukum dan peraturan adat, kapata, amsal, dll. yang mengandung falsafah hidup dan nilai-nilai luhur kehidupan bagi generasi penerus sepanjang masa. Melalui berbagai aktivitas ritual adat seperti kelahiran, perkawinan, kematian, buka kebun baru, panen hasil kebun, bangun rumah baru, dll., serta pembinaan keluarga, sistem pewarisan nilai itu berlangsung dalam komunitas adat. Jadi pengalaman hidup, pendidikan dan pembinaan menjadi media di mana Allah berkarya bersama manusia untuk memperoleh dan mengembangkan hikmat (kecerdasan). Melalui hikmat (kecerdasan) itu, manusia merasakan dan menikmati kebaikan TUHAN, dan melalui karya-karya hikmat (kecerdasan), seluruh ciptaan merasakan kebaikan TUHAN secara nyata.

MISI TRANSFORMATIF GEREJA DEMI PEMBARUAN MELALUI PENCERDASAN

Realitas pergumulan hidup bergereja, bermasyarakat, dan berbangsa beberapa tahun terakhir cenderung menampilkan perubahan sosial, politik, ekonomi dan kemajemukan berteologi secara cepat dan masif. Trend ini menghasilkan situasi kehidupan yang kompleks, tidak pasti, dan berpengaruh langsung pada perapuhan moral serta kekaburan makna kebenaran. Fenomena demikian mendorong GPM melalukan misi pembaruan (transfomasi), termasuk transformasi di bidang pendidikan dan pembinaan untuk mencerdaskan dan mengoptimalkan SDM umat di Maluku dan Maluku Utara khususnya. Umat GPM dan masyarakat luas membutuhkan peningkatan kualitas pendidikan dan pembinaan yang tidak hanya berorientasai pada sistem pendidikan dan pengajaran yang memperkuat Kecerdasan Intelektual (IQ), tetapi juga Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ).

Dalam PIP/RIPP GPM, jalan menuju pembaruan diskenariokan dengan cara dimilikinya SDM penggerak yang digerakkan oleh managemen dan pastoral. Selain dua pilar itu, perlu dipertimbangkan Misi yang Transformatif dalam kerangka pembaruan tersebut. Misi yang transformatif itu berlangsung dalam konteks masyarakat plural, kemiskinan, ketidakadilan (politik dan hukum), kebudayaan lokal, lingkungan hidup, misi yang transformatif terhadap kaum LGBT (misi kontemporer) dan disabilities, di samping dialog sebagai bentuk kesaksian Iman di dalam masyarakat plural.

            Selain itu, kecerdasan yang bersifat holistik dan integral memungkinkan umat GPM dan masyarakat memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara luas dan mutakhir, tetapi juga cerdas memaknai hidup dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang luhur dengan sesama secara sosial dan lingkungan secara ekologis. Sistem pendidikan dan pembinaan yang memungkinkan umat GPM dan masyarakat luas memiliki karakter personal yang cerdas, memiliki integritas diri, dan mampu mengambil keputusan yang benar dan tepat demi kehidupan dan masa depan. Itu berarti berbagai faktor penunjang proses pendidikan dan pembinaan seperti tenaga pendidik dan kependidikan, ruang dan fasilitas pendidikan, kurikulum dan proses pendidikan/pembinaan mesti menjadi bagian integral dari seluruh proses evaluasi dan revitalisasi pendidikan, pembinaan keluarga dan pembinaan umat serta langkah-langkah transformasi gereja perlu dilakukan untuk meneropong masa depan yang lebih baik. Bukankah dalam lembaran sejarah di Maluku, guru dan “guru Injil”, sekolah dan gereja sulit terpisahkan; merupakan “two in one dimension” GPM mewujudkan panggilan profetisnya mencerdaskan SDM demi kemajuan gereja dan bangsa?

Dalam bingkai itu, label “kristiani” yang disanding pada institusi pendidikan, bisa saja berkaca pada Asa, raja yang didaulat sebagai pemimpin yang hebat, bapak pembangunan yang sukses, reformator yang tenar (2Taw. 14:2-8). Inti kesuksesannya terletak pada ketaatan “melakukan yang baik dan benar” (ay. 2-4) sehingga semua pihak mesti menghidupkan relasi yang benar dengan Tuhan, mematuhi hukum dan perintah (ay. 4). Azas dari kepemimpinan yang diemban sangat spiritualistis karena menekankan relasi yang benar dengan Tuhan kendati pembangunan bersifat universal (bdk. Mat. 7:24-27). Inilah Azas Spiritual dari kepemimpinan dan pembangunan global yang berkarakter. Dengan azas ini, umat diajak secara profesional membangun gereja, masyarakat, bangsa dan negara.

            

PENUTUP

Experience is the mother of wisdom. The fear of the Lord teaches a man wisdom (cf. Prov. 15:33). “Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan” (Ams. 15:33). Pendidikan merupakan jembatan emas atau the way untuk menggapai masa depan yang lebih baik dan cerah.

 

____________

 



[1] Emanuel Gerrit Singgih. Dari Eden ke Babel - Sebuah Tafsir Kejadian 1-11. (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 51, 52, 72.

[2] Gereja Protestan Maluku. Salinan Ketetapan-Ketetapan Hasil Persidangan XXXVI Sinode GPM. Ambon: Sekretariat Kantor Sinode GPM, 2010, 259.

[3] Bdk. Tulisan Ron Harris, ilmuwan di bidang Geologi yang banyak melakukan penelitian mengenai gempa di Indonesia, sebelum terjadinya gempa besar di Aceh pada tahun 2004. Beliau mengkuatirkan kondisi masyarakat Indonesia bagian Timur yang tampaknya belum tersentuh sosialisasi penanggulangan risiko bencana…. Bukan tidak mungkin Indonesia bagian Timur akan diancam bencana yang sama dengan wilayah Sumatera dan Jawa.

[4] Bdk. Van Dale. Groot Woordenboek der Nederlandse Taal, Elfde, herziede druk, Derde deel S-Z. (Utrecht/Antwerpen: Van Dale Lexicografie, 1984), 3412-3413. Di sini disebutkan: wijs berarti manier, modus, weten, verstandig, hetzij veel wetende, geleerd. Sedangkan wijsheid berarti geleerdheid, de hoedanigheid van wijs te zijn.

[5] Haryatmoko. Dominasi Penuh Muslihat – Akar Kekerasan dan Diskriminasi(Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Kompas Gramedia, 2010), 262-263.

[6] Norman Habel. “Wisdom Cosmology and Climate Change”, dalam: Karen L. Bloomquist. God, Creation and Climate Changes: Sprititual and Ethical Perspective. (Geneva, Switzerland: Lutheran University Press, 2009), 121, 122.

[7] Daniel J. Treier. Wisdom, dalam: Kevin J. Vanhoozer (Gen. Ed.). Dictionary for Theological Interpretation of the Bible. (Grand Rapids, Michigan: Backer Academic, 2006), 845.

[8] Raymond C. Van Leeuwen, “Wisdom Literature”, dalam: Kevin J. Vanhoozer, ibid., 849.

[9] Martin Harun. “Paulus dan Penyelamatan Kosmos”, dalam: Forum Biblika, Jurnal Ilmiah Populer, No.14 – 2001 Alkitab dan Ekologi. (Jakarta: LAI, 2001), 70.

[10] Band. Kurt Rudolf, Wisdom, dalam Mircea Eliade (ed), The Encyclopedia of ReligionVol.15 (NY: MacMillan  Publishing Company, 1987).

Sambutan Rektor

  SAMBUTAN REKTOR UKIM   PADA ACARA PENANDATANGANAN KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN SOSIAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN UNIVERSITAS KRIS...