TUHAN ITU BAIK KEPADA SEMUA CIPTAAN
Mencerdaskan Umat
untuk Bersama-Sama Melakukan Tugas Pembaruan
dalam Kehidupan Bergereja, Bermasyarakat dan Berbangsa
Perspektif Teologi
Dr. Cornelis Adolf Alyona, M.Th
PENGANTAR
“TUHAN itu Baik kepada Semua Ciptaan” merupakan fokus pergumulan dan refleksi kritis GPM selama tahun 2010-2015 dalam rangka memahami relasinya dengan Allah Pencipta melalui Yesus Kristus dan konteks di mana ia berakar, bertumbuh, berkembang dan, berbuah. Tema yang disari dari Mazmur 145:9 (“TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya”) ini tidak semata diboboti kesadaran dan pengakuan bahwa TUHAN itu baik terhadap seluruh ciptaan, tetapi juga ditegaskan betapa manusia dan non-manusia, biotik dan abiotik berhak hidup dan menikmati kebaikan TUHAN sehingga tidak dapat di-claimed sebagai hak istimewa manusia, kelompok tertentu, termasuk kekristenan.
Dalam tradisi penciptaan ditegaskan bahwa Allah menciptakan setiap unsur ciptaan (fisik), termasuk manusia (makhluk sosial) dengan predikat AMAT BAIK (Ibr.: tobh meodh: Kej. 1:31) yang makna literernya mencakup dimensi etis (“baik”) dan estetis (“indah”). Allah yang baik itu mewujudkan kebaikan-Nya terhadap seluruh ciptaan melalui karya kreatif, kualitas, holistik (fisik, sosial, etis, estetis) dan integratif (menyatu dalam eksistensi ciptaan yang khas berbeda dan menyatu). Kualitas karya Allah itu tampak melalui tindakan mengubah chaos menjadi kehidupan yang teratur dan tersistem; melalui keanekaragaman ciptaan yang saling terkait dan saling menguatkan, melalui kepercayaan dan tanggung jawab (mandat budaya) yang diberikan kepada manusia, dan non-manusia untuk meneruskan karya kreatif Allah (on going creation). Namun hakikat manusia yang diciptakan sebagai “gambar Allah” (Kej.1:26,27) dan “makluk hidup” (Kej. 2:7) digerogoti oleh berbagai kekuatan destruktif yang menampilkan wajahnya secara struktural dalam bentuk keterbelakangan, keterisolasian, kebodohan, kemiskinan, penyakit, perang, teror, kekerasan, bencana alam, dst., serta secara internal melalui kecenderungan self and power oriented, keserakahan, arogansi, dst. Begitu pun keutuhan dan keanekaragaman ciptaan secara substansif mengalami ketidakadilan ekologis (eco-injustice) karena faktor alamiah (natural disaster) dan tindakan manusia (disaster by human activities) yang menyebabkan kosmos, termasuk ekosistem di bumi, terancam. Eksistensi relasional manusia dengan sesama secara sosial, dengan lingkungan secara ekologis, dengan TUHAN secara spiritual pun bergeser menjadi pragmatis yang dikuasai oleh kepentingan dan arogansi.
Realitas demikian mengindikasikan betapa hakikat ciptaan yang berkualitas “amat baik” mengalami degradasi kualitas. Itu sebabnya GPM terpanggil melakukan misi profetis memulihkan dan membarui agar hakikat ciptaan yang “amat baik” itu ditemukan kembali; kehidupan bergereja, bermasyarakat dan berbangsa semakin lebih baik, harmonis dan berkualitas. Tugas bersama itu membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang cerdas seperti dituangkan dalam rumusan sub-tema.
KONTEKS BUTUH UMAT YANG CERDAS
GPM pada tahun 2010 memiliki 524.403 jiwa, termasuk 1.307 pegawai organik (1.012 pendeta dan penginjil, 259 pegawai non-pendeta di 26 Klasis), 754 jemaat yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi Maluku dan sebagian di wilayah Provinsi Maluku Utara. Kuantitas SDM ini dipahami sebagai anugerah Tuhan yang harus dihargai dan dioptimalkan untuk tugas Persekutuan, Kesaksian dan Pelayanan dalam konteks gereja, masyarakat dan bangsa. Tugas itu berat dikarenakan realitas geografis GEREJA KEPULAUAN menghadapkan peluang yang harus dikelola secara baik dan ancaman yang mesti diantisipasi secara seirus, seperti tanggap terhadap bencana dan ancaman Tsunami. Di satu sisi, warga jemaat GPM hidup di tengah realitas tanah, hutan yang dominan ditampilkan lewat simbol “cengkih pala”; di pesisir pantai dan laut yang kaya aneka sumber daya alam (SDA) namun minim simbol potensi kelautan, sementara sebagian besar warga masih bergelut dengan isu lingkungan, konflik agraria dan hak masyarakat adat/hak ulayat, serta realitas kemiskinan yang antara lain sebagai akibat dari dominasi kekuasaan ekonomi penguasa modal dan birokrasi yang kehilangan nurani keadilan dan keberpihakkan pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat kecil. Kenyataan demikian, di sisi lain, turut berpengaruh pada tingkat pendidikan SDM yang berkualitas dan kompeten, kualitas gizi dan kesehatan yang rendah, kesulitan mengakses informasi secara baik, komunikasi dan transportasi, dst.
Di tengah realitas konteks demikian, umat yang menjadi subjek dalam misi profetis gereja serta pembangunan bangsa dan negara, rentan terancam menjadi objek kepentingan dan keserakahan kekuasaan. Kemajemukan pulau, suku/sub-suku, budaya, bahasa, agama dan denominasi, ibarat “pelangi” yang dianugerahkan TUHAN untuk memperkaya keindahan hidup bersama, sebagai “tanda” (sign) kebaikan TUHAN yang menyatukan, menghidupkan, mendinamiskan dan memberkati upaya menatalayani keragaman ciptaan demi kesejahteraan hidup bersama. Namun keragaman sering dimanipulasi demi kepentingan kekuasaan sehingga muncul konflik dan kekerasan, segregasi, menguatnya primordialisme sempit yang mengganggu tatanan hidup bersama sebagai gereja, masyarakat, bangsa dan negara.
Kendati Indonesia telah meratifikasi Hak-hak Azasi Manusia Internasional, pelanggaran, malah penistaan kemanusiaan kerap terjadi dalam pelbagai bentuk. Kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga, kekerasan atas nama agama, perkosaan dan kejahatan jalanan, penyerbuan dan pengrusakan, penggusuran atas nama keindahan kota, korupsi dan teroris mendera kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum nyaris tak berdaya menggali ketidakmanusiawian di negeri yang sangat menjunjung prinsip “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Sementara agama (baca: gereja) asyik mempermegah tempat ibadah, mengembangkan ritual keagamaan yang menawarkan tiket ke sorga sehingga lupa memedulikan kejahatan kemanusiaan di hadapan mata. Gereja cenderung mewartakan ayat-ayat suci demi mempergemuk sikap-tindak-gaya hidup “vertikalis-dogmatis” ketimbang humanis yang justru hadir via teologia Inkarnasi, Allah menjadi manusia yang sungguh manusiawi demi menjunjung harkat dan martabat manusia yang diciptakan dengan penuh kasih sayang.
Setidaknya dicatat dua momen penting pada tahun 2014, yakni pemilihan majelis jemaat dan pemilihan anggota-anggota DPR sebagai badan legislatif pada tingkat DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pemilihan majelis jemaat di lingkungan gereja dan perhelatan politik secara nasional sangat penting bagi kehidupan bergereja, berbangsa dan bernegara untuk jangka 2014-2019. Karenanya gereja terpanggil untuk mencerdaskan umat sehingga mampu berperan sebagai subjek yang cerdas menyalurkan aspirasi politik dan mampu melaksanakan pembaruan di tengah kehidupan bergereja, berbangsa dan bernegara. Gereja memahami pembangunan nasional sebagai upaya sengaja dan terencana demi mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik. Dukungan dan partisipasi itu hendaknya diwujudkan dengan sikap positif, kreatif, kritis dan realistis.
KECERDASAN YANG HOLISTIK DAN INTEGRATIF WUJUD KEBAIKAN TUHAN
Sub-Tema MPL ke-35 ini meletakkan aksentuasi pada tugas bersama sebagai gereja (pimpinan, pelayan, warga gereja) berserta seluruh komponen masyarakat karena sangat membutuhkan kecerdasan untuk melakukan pembaruan dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan berbangsa. Pasalnya, cerdas mengacu pada “perkembangan akal budi yang sempurna; tajam pikiran”. Makna kata “cerdas” tidak semata menunjuk pada kemampuan rasio (akal, intelektual) untuk berpikir, tetapi juga kemampuan budi (nous) untuk mengerti, menghayati, mempertimbangkan sesuatu secara matang. Jadi, orang cerdas memiliki kemampuan berpikir secara kritis sambil mempertimbangkan segala hal sebelum dikatakan atau dilakukan.
Semisal konsep postmodernisme yang menekankan diskontinyu modernitas, lantas lahir hipermodernisme menggarisbawahi radikalisme modernitas. Pribadi hipermodernitas sangat individualis; penghuninya terperangkap dalam putaran globalisasi ekonomi, semakin didominasi hukum pasar dan dikondisikan oleh waktu yang cepat dan padat. Masyarakat cenderung mencari kepuasan langsung dan menyingkirkan pelbagai pembatas seperti norma kolektif atau tujuan bersama. Acuan bersama tidak ditemukan lagi, kecuali risiko yang mesti ditanggung bersama. Jadi hipermodernisme bukan kematian modernisme, tetapi upaya mencapai puncak modernisme yang terwujud dalam globalisasi liberalisme, komersialisasi gaya hidup yang nyaris menyentuh seluruh bidang kehidupan, eksploitasi rasio berlebihan dan individu semakin mengemuka.
Atas pertimbangan itu maka perlu digali makna Alkitab tentang KECERDASAN sebagai bagian dari HIKMAT (Ibr.: hokmah; Yun.: sophia; Ing.: wisdom; Bld: wijsheid). Kata “hikmat” ini digunakan secara bergantian dengan padanannya, yakni kecerdasan, pengetahuan, kebijaksanaan, pendidikan, pengertian dan pertimbangan (bdk. Ams. 8:12). Maka, orang berhikmat ialah orang yang memiliki pengetahuan, kecerdasan, pengertian, pertimbangan yang matang, dan secara arif melihat, memahami dan menyikapi realitas. Dari perspektif sub-tema, orang berhikmat itulah orang cerdas sehingga ia dituntut mesti berhikmat. Tradisi hikmat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menegaskan beberapa hal substansial terkait dengan hikmat dan upaya memperoleh hikmat sebagai berikut.
✔ Allah Sumber Kecerdasan
Hikmat diciptakan oleh Allah, berada bersama Allah sebelum segala sesuatu diciptakan-Nya (Ams. 2:6; 3: 19; 8:22-31; bdk. ay. 28). Itu berarti Allah menggunakan hikmat sebagai “cara” atau “jalan” (the way) untuk memperoleh inspirasi, daya kreasi, pertimbangan yang matang, keputusan yang tepat dan benar kala mewujudkan proses penciptaan langit, bumi beserta segala isinya. Melalui hikmat, Allah menghasilkan karya-karya kreatif-Nya yang “amat baik” (bdk. Kej. 1:31). Hikmat melahirkan karya kreasional yang tidak hanya baru secara fisik, tetapi juga mengandung nilai etika dan estetika yang bermanfaat bagi kehidupan bersama seluruh ciptaan. Justru itu Allah menganugerahkan hikmat kepada manusia sebagai the way untuk menemukan pengertian, keberanian dan cara tepat untuk menyatakan, membela dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan (Ams. 2:9; 8:1-3,7,8,dst.).
Dengan hikmat, manusia tidak semata diberikan kemampuan untuk mengerti dan membedakan kebenaran dan keadilan, tetapi terlebih menyatakan keberpihakan pada kebenaran dan keadilan, mampu memperjuangkannya dengan cara yang benar dan adil. Kemampuan seperti ini sangat dibutuhkan di tengah realitas kehidupan bergereja dan bermasyarakat, di mana kebenaran dan keadilan mudah diperjualbelikan.
Hikmat merupakan the way dalam rangka menemukan kualitas moral dan kekuatan spiritual untuk menyikapi berbagai realitas yang baik dan buruk sehingga pilihan dan keputusan yang diambil tetap tepat, benar, konsisten (Ams. 2:11,12; 5:14; 6:4-5,12-14, dst.). Malah Hikmat adalah the way yang melaluinya manusia diberi kemampuan mengamati, merenungkan, menghayati dan memaknai secara mendalam semua karya Allah di alam semesta (Ayb. 38:4-33), sehingga hikmat menuntun manusia menghargai dan berlaku adil terhadap ciptaan lain sambil menghindari dominasi dan diskriminasi ciptaan.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus dipahami dan diyakini sebagai inkarnasi Firman (word) atau Hikmat (Wisdom), yang dengannya Allah menciptakan dan menyelamatkan segala sesuatu (Yoh. 1:1-18; bdk. Ams. 8; Kol. 1:15-20; Ibr. 1:1-14; 1 Kor. 24, 30). Itu berarti, totalitas kehidupan Yesus (perkataan, pengajaran, tindakan, peristiwa yang dijalani-Nya) merupakan wujud dari Hikmat Allah. Sejak usia 12 tahun, Yesus yang pertama kali dibawa orang tua-Nya ke Yerusalem merayakan Paskah Yahudi, mampu berdialog dengan alim ulama yang terpesona menyaksikan kecerdasan-Nya (Luk. 2: 41-52). Kekaguman mereka tidak semata pada pengetahuan dan daya kritis Yesus, tetapi juga integritas dan konsistensi-Nya pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, empati dan solidaritas terhadap kaum lemah, menderita dan yang diperlakukan tidak adil oleh struktur kekuasaan.
Dalam kaitan dengan peristiwa salib, Rasul Paulus menyebut Yesus sebagai Hikmat Allah (1 Kor. 1:24). Melalui Salib, hikmat dibuktikan sebagai the way yang memungkinkan Allah melalui Kristus memahami ketidakberdayaan ciptaan-Nya, lantas bersedia berkurban demi menyelamatkan ciptaan-Nya dari ketidakberdayaan. Allah memilih dan menyatakan keberpihakkan-Nya pada ciptaan yang tidak berdaya, serta bersama seluruh ciptaan berjuang agar bebas dari kemiskinan, penyakit, ketidakadilan, dan kehancuran hakikat ciptaan melalui jalan salib. Salib menjadi simbol dan icon dari hikmat yang melumpuhkan arogansi kekuasaan dengan cinta kasih tanpa kekerasan, memperjuangkan kebenaran dan keadilan tanpa gentar menghadapi risiko terburuk, melahirkan nilai-nilai empati dan solidaritas ciptaan tanpa dominasi dan diskriminasi ciptaan (bdk. Kol.1:20).
Dalam konteks demikian, hikmat membuktikan dirinya sebagai the way yang menuntun kecerdasan intelektual, diimbangi kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial. Dengan begitu, salib menjadi kritik terhadap perspektif atau paradigma (cara pandang, sikap dan tindakan) yang mengagungkan kecerdasan intelektual sebagai satu-satunya kemampuan melihat dan memaknai realitas. Perspektif sedemikian dimiliki orang Yunani di Korintus sehingga salib dinilai sebagai kebodohan (1 Kor. 1:23c). Penilaian dan sikap demikian gara-gara rasionalits dipatok sebagai ukuran satu-satunya, lantas salib dinilai tidak logis, tidak rasional, tidak mendatangkan profit. Rasul Paulus yang mengkritisi pandangan Yunani itu berpandangan bahwa melalui salib kekhasan hikmat Allah sungguh-sungguh tampak sebagai Kasih yang tidak masuk akal, kasih yang rela dilukai. Kasih seekstrim itulah Hikmat Allah yang sesungguhnya, yang sejak awal menciptakan dan menggerakkan seluruh ciptaan. Kasih Allah itu hanya dapat dimengerti, dipahami dan dimaknai dengan menggunakan hikmat sebagai kecerdasan yang bersifat holistik dan integratif.
Bukankah Allah mengaruniakan hikmat kepada leluhur dalam setiap komunitas masyarakat lokal, termasuk di Maluku dan Maluku Utara? Dengan hikmat yang dimiliki, mereka menciptakan dan mewariskan local wisdom (kearifan/hikmat lokal) yang sangat beragam dan berdayaguna demi kehidupan masyarakat. Melalui local wisdom, komunitas lokal tidak saja terbentuk, tetapi juga dimampukan mengelola secara arif dan mengembangkan secara positif kehidupan komunitas sambil tetap terbuka dan kritis terhadap perubahan zaman. Dengan local wisdom, masyarakat lokal diberi kemampuan secara intelektual, emosional, spiritual, dan sosial untuk merumuskan hukum-hukum adat dan nilai-nilai kehidupan yang luhur agar relasi sosial, ekologis dan spiritualnya dapat berlangsung baik.
Hal ini diteropongi lewat kacamata budaya Pela dan Gandong, Ain Ni Ain, Kidabela, Duan-Lolat, Masohi, dst, yang menerangi pikiran dan hati masyarakat lokal untuk membangun relasi sosialnya. Begitu pula semisal budaya Sasi di mana masyarakat lokal mengelola relasi ekologisnya dengan lingkungan alam. Budaya-budaya lokal tersebut memperlihatkan kecerdasan para pewaris, pelaku dan penerusnya yang tidak hanya hebat secara intelektual tetapi juga piawai secara emosional dan spiritual dalam mengelola kehidupan dan komunitasnya. Kecerdasan yang diekspresikan selalu dalam kesadaran dan penghargaan terhadap Yang Illahi sebagai Sumber Hikmat, dan nilai-nilai etik-moral yang terkait dengannya. Jadi, hikmat selalu memiliki hubungan relasional dengan Allah. Hikmat melibatkan kemampuan rasional (intelektual), spiritualitas, dan emosional, saling terkait dan terintegrasi dalam diri manusia. Hikmat bersifat holistik, integratif, praksis, dan praktis.
Mencari hikmat berarti pertama-tama mengakui Allah sebagai Sumber Hikmat itu sendiri (Ams. 1:7a), dan meneladani cara Allah menggunakan hikmat sebagai the way untuk berkarya dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh ciptaan. Itu berarti Hikmat tidak dengan sendirinya dimiliki manusia, tidak otomatis dimiliki gereja. Hikmat mesti dicari, sampai ditemukan, kemudian dicintai dan digunakan secara absolut dalam kehidupan. Dengan Hikmat, seluruh ciptaan dapat melihat, merasakan dan menikmati Kebaikan TUHAN, Sang Sumber Hikmat (Kecerdasan) itu.
Jika dalam tradisi Yunani, garam (NaCl) diasosiasikan dengan “yang dikasihi Ilahi [Allah]”, dan rabbinic textmengartikan garam sebagai “kebijaksanaan” atau “hikmat” (bdk. J.A. Emerton), maka dapat dipahami kala Yesus mengenakan metafor “garam” pada para murid-Nya sebagai “orang-orang bijak”, “oran-orangg pilihan yang dikasihi Allah”. Sifat, watak dan karakter garam dapat diwujudkan lewat aksi menyelamatkan semesta dari pembusukan (corruption).
Dalam sastra Yunani, murid (mathetes) berarti pupil dan disciple. Pupil menekankan relasi guru – murid, disciple menekankan proses yang dijalani murid. Dari sini dijumpai tiga konsep dari kata disciple: (1), “belajar” merupakan elemen intelektual yang diserap dari teori pengetahuan (kognitif). (2), “belajar” merupakan rekoleksi dari sesuatu yang tidak ada dalam hati nurani menjadi bagian dari hati nurani (afektif). (3), “belajar” merupakan penerapan dari pengembangan pemahaman moral (psikomotorik). Sedangkan konsep pupil menekankan persekutuan murid – guru yang bergayut hingga tampil pemimpin (future leader). Diharapkan seorang yang menjalani proses belajar dan harapan belajar seumur hidup terjadi proses dibentuk (formed), diubah (transformed), kemudian membentuk orang lain (formed to shape). Jadi seorang murid mesti terus memiliki relasi yang intim dengan guru dan institusi demi mencapai formasi spiritualitas (spiritual formation) sehingga mengubah dalam hal: transformated mind (pikiran), transformated character (karakter), transformated relationship (relasi), transformated habits(kebiasaan), transformated service (pelayanan), dan transformated influence (pengaruh).
✔ Kecerdasan Diperoleh dari Pengalaman Hidup, Pendidikan dan Pembinaan
Hikmat yang diciptakan TUHAN, dinugerahkan kepada setiap orang yang sungguh-sungguh mencari (Ayb.38:4-39:33), menemukan (Ams.8:35), mencintai (Ams.4:8) dan menggunakannnya secara baik dalam kehidupan sehari-hari (Ams.4:13). Itu berarti, hikmat bukan barang jadi, tetapi proses (the way) untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, pengertian, pertimbangan yang matang, spiritualitas yang kuat, pengendalin emosional yang tinggi, sikap dan perilaku yang baik dan tepat selama menjalani kehidupan sehari-hari.
Dalam tradisi Alkitab, hikmat diperoleh terutama melalui pengalaman hidup. Orang berhikmat menjadikan pengalaman hidup sebagai sumber primer mencari hikmat. Mereka mengamati realitas sosial, politik, ekonomi, ekologis, spiritual, serta berusaha mengerti dan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh realitas tersebut, dan menentukan sikap yang benar dan tepat demi meneropong masa depan. Pengalaman (ervaring, bevinding) yang mengalami proses penajaman atau pendalaman (discernment) dijadikan bahan untuk pendidikan dan pembinaan dalam keluarga dan masyarakat.
Yesus yang penuh hikmat pun menjadikan realitas sebagai salah satu sumber primer pengajaran dan perjuangan-Nya. Ia mengamati dan mendalami secara kritis realitas sosial, politik, ekonomi, budaya, dst, kemudian mendidik murid-murid-Nya dan masyarakat agar bersikap kritis selama menjalani dan menyikapi realitas hidup. Ia mendidik para murid-Nya agar tidak hanya menerima dan menjalani setiap tradisi dalam hidup beragama, bermasyarakat dan berumah-tangga, tetapi mesti kritis terhadap tradisi-tradisi tersebut, khususnya yang melanggengkan status quo, diskriminasi, eksploitasi dan ketidakadilan.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hal yang hampir serupa pernah diperankan oleh para leluhur yang mampu menghasilkan local wisdom karena mereka belajar mecermati secara mendalam berbagai realitas dan pengalaman hidup di tengah-tengah realitas tersebut. Pengalaman hidup yang telah dicermati secara baik, dijadikan sumber kebijaksanaan lokal untuk menciptakan hukum dan peraturan adat, kapata, amsal, dll. yang mengandung falsafah hidup dan nilai-nilai luhur kehidupan bagi generasi penerus sepanjang masa. Melalui berbagai aktivitas ritual adat seperti kelahiran, perkawinan, kematian, buka kebun baru, panen hasil kebun, bangun rumah baru, dll., serta pembinaan keluarga, sistem pewarisan nilai itu berlangsung dalam komunitas adat. Jadi pengalaman hidup, pendidikan dan pembinaan menjadi media di mana Allah berkarya bersama manusia untuk memperoleh dan mengembangkan hikmat (kecerdasan). Melalui hikmat (kecerdasan) itu, manusia merasakan dan menikmati kebaikan TUHAN, dan melalui karya-karya hikmat (kecerdasan), seluruh ciptaan merasakan kebaikan TUHAN secara nyata.
MISI TRANSFORMATIF GEREJA DEMI PEMBARUAN MELALUI PENCERDASAN
Realitas pergumulan hidup bergereja, bermasyarakat, dan berbangsa beberapa tahun terakhir cenderung menampilkan perubahan sosial, politik, ekonomi dan kemajemukan berteologi secara cepat dan masif. Trend ini menghasilkan situasi kehidupan yang kompleks, tidak pasti, dan berpengaruh langsung pada perapuhan moral serta kekaburan makna kebenaran. Fenomena demikian mendorong GPM melalukan misi pembaruan (transfomasi), termasuk transformasi di bidang pendidikan dan pembinaan untuk mencerdaskan dan mengoptimalkan SDM umat di Maluku dan Maluku Utara khususnya. Umat GPM dan masyarakat luas membutuhkan peningkatan kualitas pendidikan dan pembinaan yang tidak hanya berorientasai pada sistem pendidikan dan pengajaran yang memperkuat Kecerdasan Intelektual (IQ), tetapi juga Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ).
Dalam PIP/RIPP GPM, jalan menuju pembaruan diskenariokan dengan cara dimilikinya SDM penggerak yang digerakkan oleh managemen dan pastoral. Selain dua pilar itu, perlu dipertimbangkan Misi yang Transformatif dalam kerangka pembaruan tersebut. Misi yang transformatif itu berlangsung dalam konteks masyarakat plural, kemiskinan, ketidakadilan (politik dan hukum), kebudayaan lokal, lingkungan hidup, misi yang transformatif terhadap kaum LGBT (misi kontemporer) dan disabilities, di samping dialog sebagai bentuk kesaksian Iman di dalam masyarakat plural.
Selain itu, kecerdasan yang bersifat holistik dan integral memungkinkan umat GPM dan masyarakat memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara luas dan mutakhir, tetapi juga cerdas memaknai hidup dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang luhur dengan sesama secara sosial dan lingkungan secara ekologis. Sistem pendidikan dan pembinaan yang memungkinkan umat GPM dan masyarakat luas memiliki karakter personal yang cerdas, memiliki integritas diri, dan mampu mengambil keputusan yang benar dan tepat demi kehidupan dan masa depan. Itu berarti berbagai faktor penunjang proses pendidikan dan pembinaan seperti tenaga pendidik dan kependidikan, ruang dan fasilitas pendidikan, kurikulum dan proses pendidikan/pembinaan mesti menjadi bagian integral dari seluruh proses evaluasi dan revitalisasi pendidikan, pembinaan keluarga dan pembinaan umat serta langkah-langkah transformasi gereja perlu dilakukan untuk meneropong masa depan yang lebih baik. Bukankah dalam lembaran sejarah di Maluku, guru dan “guru Injil”, sekolah dan gereja sulit terpisahkan; merupakan “two in one dimension” GPM mewujudkan panggilan profetisnya mencerdaskan SDM demi kemajuan gereja dan bangsa?
Dalam bingkai itu, label “kristiani” yang disanding pada institusi pendidikan, bisa saja berkaca pada Asa, raja yang didaulat sebagai pemimpin yang hebat, bapak pembangunan yang sukses, reformator yang tenar (2Taw. 14:2-8). Inti kesuksesannya terletak pada ketaatan “melakukan yang baik dan benar” (ay. 2-4) sehingga semua pihak mesti menghidupkan relasi yang benar dengan Tuhan, mematuhi hukum dan perintah (ay. 4). Azas dari kepemimpinan yang diemban sangat spiritualistis karena menekankan relasi yang benar dengan Tuhan kendati pembangunan bersifat universal (bdk. Mat. 7:24-27). Inilah Azas Spiritual dari kepemimpinan dan pembangunan global yang berkarakter. Dengan azas ini, umat diajak secara profesional membangun gereja, masyarakat, bangsa dan negara.
PENUTUP
Experience is the mother of wisdom. The fear of the Lord teaches a man wisdom (cf. Prov. 15:33). “Takut akan TUHAN adalah didikan yang mendatangkan hikmat, dan kerendahan hati mendahului kehormatan” (Ams. 15:33). Pendidikan merupakan jembatan emas atau the way untuk menggapai masa depan yang lebih baik dan cerah.
____________